Tuesday, April 19, 2016

Doa Perlindungan Dan Penyembuhan Daripada Penyakit Daripada Hadis-hadis Sahih

Ada banyak doa perlindungan dan penyembuhan dari penyakit  dalam Al-Qur’an dan hadits. Berikut ini sebagian di antaranya yang boleh dibaca oleh pesakit yang sakit, orang yang menziarahi pesakit yang sakit dan doktor yng memberikan rawatan kepada pesakit.

Doa pertama

Dari Aisyah radhiyallahu ‘Anha berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam biasa membacakan doa pelindungan kepada sebagian mereka (sahabatnya), baginda mengusap orang tersebut dengan tangan kanan baginda lalu baginda membacakan doa:

«ŰŁَŰ°ْهِŰšِ Ű§Ù„Űšَۧ۳َ ۱َŰšَّ Ű§Ù„Ù†َّۧ۳ِ، وَۧێْفِ ŰŁَنْŰȘَ Ű§Ù„ŰŽَّŰ§Ùِي، Ù„Ű§َ ŰŽِفَۧۥَ Ű„ِلَّۧ ŰŽِفَۧۀُكَ، ŰŽِفَۧۥً Ù„Ű§َ يُŰșَۧۯِ۱ُ Űłَقَمًۧ»

“Hilangkanlah penyakit wahai Rabb manusia dan berilah kesembuhan, sesungguhnya Engkau adalah Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali dengan kesembuhan dari-Mu, (berilah) kesembuhan sepenuhnya yang tidak menyisakan penyakit.”

(HR.Bukhari no. 5750 dan Muslim no. 2191, lafal ini adalah lafal Bukhari.)

Adapun lafal Muslim adalah dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Jika salah seorang di antara kami ada yang sakit, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengusapnya dengan tangan kanan baginda lalu baginda membacakan doa:”…” (seperti doa di atas)

Doa kedua

Dari Abdurrahman bin Saib anak saudara Maimunah Al-Hilaliyah radhiyallahu ‘anha bahawasanya Maimunah bertanya kepadanya, “Wahai anak saudaraku, mahukah apabila aku bacakan kepadamu doa kesembuhan yang biasa dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam?” Abdurrahman menjawab, “Tentu.” Maimunah berkata:

ŰšِŰłْمِ Ű§Ù„Ù„Ù‡ِ ŰŁَ۱ْقِيكَ، وَŰ§Ù„Ù„Ù‡ُ يَŰŽْفِيكَ، مِنْ كُلِّ ŰŻَۧۥٍ فِيكَ، ŰŁَŰ°ْهِŰšِ Ű§Ù„ْŰšَۧ۳َ ۱َŰšَّ Ű§Ù„Ù†َّۧ۳ِ، وَۧێْفِ ŰŁَنْŰȘَ Ű§Ù„ŰŽَّŰ§Ùِي، لَۧ ŰŽَŰ§Ùِيَ Ű„ِلَّۧ ŰŁَنْŰȘَ

“Dengan nama Allah aku membacakan doa kesembuhan untukmu, Allah-lah Yang menyembuhkanmu, dari segala penyakit yang ada padamu. Hilangkanlah penyakit wahai Rabb manusia dan berilah kesembuhan, sesungguhnya Engkau adalah Maha Menyembuhkan, tidak ada yang mampu memberi kesembuhan kecuali Engkau.”(HR. Ahmad no. 26281, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 10860, Ibnu Hibban no. 6095, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar, 4/329 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath no. 3318. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: Hadits ini shahih li-ghairi)

Doa ketiga

Membacakan surat Al-Falaq, An-Nas, Al-Fatihah atau doa-doa perlindungan lainnya dan mengusapkannya ke anggota badan yang sakit

Űčَنْ ŰčَۧۊِŰŽَŰ©َ: «ŰŁَنَّ Ű§Ù„Ù†َّŰšِيَّ Ű”َلَّى Ű§Ù„Ù„Ù‡ُ Űčَلَيْهِ وَŰłَلَّمَ كَŰ§Ù†َ Ű„ِŰ°َۧ ۧێْŰȘَكَى يَقْ۱َŰŁُ Űčَلَى نَفْŰłِهِ ŰšِŰ§Ù„ْمُŰčَوِّŰ°َۧŰȘِ، وَيَنْفُŰ«ُ، فَلَمَّۧ ۧێْŰȘَŰŻَّ وَŰŹَŰčُهُ كُنْŰȘُ ŰŁَقْ۱َŰŁُ Űčَلَيْهِ، وَŰŁَمْŰłَŰ­ُ Űčَنْهُ ŰšِيَŰŻِهِ، ۱َŰŹَۧۥَ Űšَ۱َكَŰȘِهَۧ»

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sedang sakit, maka baginda membacakan untuk dirinya sendiri al-mu’awwidzat (surat-surat Al-Qur’an dan doa-doa perlindungan) lalu meniupkannya pada diri baginda sendiri. Namun ketika sakit baginda telah parah, sayalah yang membacakan al-mu’awwidzat untuk baginda, lalu saya (tiupkan bacaan tersebut ke tangan baginda dan) usapkan tangan baginda ke badan baginda, dengan mengharap keberkahan tangan baginda.”(HR. Muslim no. 2192)

Catatan: Surat Al-Falaq dan surat An-Nas disebut al-mu’awwidzatain (dua surah yang member perlindungan). Seorang sahabat juga pernah menyembuhkan kepala suku yang terkena sengatan haiwan berbisa dengan bacaan Al-Fatihah, seperti disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Dalam hadits shahih disebutkan:

Űčَنْ ŰčَۧۊِŰŽَŰ©َ، ۱َ۶ِيَ Ű§Ù„Ù„َّهُ Űčَنْهَۧ قَŰ§Ù„َŰȘْ: «ÙƒَŰ§Ù†َ ۱َŰłُولُ Ű§Ù„Ù„َّهِ Ű”َلَّى Ű§Ù„Ù„Ù‡ُ Űčَلَيْهِ وَŰłَلَّمَ Ű„ِŰ°َۧ ŰŁَوَى Ű„ِلَى فِ۱َۧێِهِ، نَفَŰ«َ فِي كَفَّيْهِ Űšِقُلْ هُوَ Ű§Ù„Ù„َّهُ ŰŁَŰ­َŰŻٌ وَŰšِŰ§Ù„ْمُŰčَوِّŰ°َŰȘَيْنِ ŰŹَمِيŰčًۧ، Ű«ُمَّ يَمْŰłَŰ­ُ Űšِهِمَۧ وَŰŹْهَهُ، وَمَۧ ŰšَلَŰșَŰȘْ يَŰŻَŰ§Ù‡ُ مِنْ ŰŹَŰłَŰŻِهِ» قَŰ§Ù„َŰȘْ ŰčَۧۊِŰŽَŰ©ُ: «Ùَلَمَّۧ ۧێْŰȘَكَى كَŰ§Ù†َ يَŰŁْمُ۱ُنِي ŰŁَنْ ŰŁَفْŰčَلَ Ű°َلِكَ Űšِهِ»

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berbaring di tempat tidurnya untuk tidur, maka beliau membaca surat Al-Ikhlas dan dua surat Al-Mu’awidzatain (Al-Falaq dan An-Nas) lalu meniupkannya kepada kedua telapak tangan baginda, lalu baginda mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya dan seluruh anggota badannya yang boleh dijangkau dengan kedua tangannya. Tatkala baginda sakit keras, maka baginda memerintahkan kepadaku untuk melakukan hal itu bagi baginda.”(HR. Bukhari no. 5748)

Doa Keempat

Dari Utsman bin Abil Ash Ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia mengadukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam penyakit yang ia alami sejak ia masuk Islam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya:

«Ű¶َŰčْ يَŰŻَكَ Űčَلَى Ű§Ù„َّŰ°ِي ŰȘَŰŁَلَّمَ مِنْ ŰŹَŰłَŰŻِكَ، وَقُلْ Űšِۧ۳ْمِ Ű§Ù„Ù„Ù‡ِ Ű«َلًَۧ۫ۧ، وَقُلْ ŰłَŰšْŰčَ مَ۱َّۧŰȘٍ ŰŁَŰčُÙˆŰ°ُ ŰšِŰ§Ù„Ù„Ù‡ِ وَقُŰŻْ۱َŰȘِهِ مِنْ ŰŽَ۱ِّ مَۧ ŰŁَŰŹِŰŻُ وَŰŁُŰ­َۧ۰ِ۱ُ»

Letakkan tanganmu pada bagian tubuhmu yang sakit, kemudian bacalah bismillah (dengan nama Allah) sebanyak tiga kali, lalu bacalah doa berikut ini sebanyak tujuh kali:

ŰŁَŰčُÙˆŰ°ُ ŰšِŰ§Ù„Ù„Ù‡ِ وَقُŰŻْ۱َŰȘِهِ مِنْ ŰŽَ۱ِّ مَۧ ŰŁَŰŹِŰŻُ وَŰŁُŰ­َۧ۰ِ۱ُ

“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan (penyakit) yang aku dapatkan dan aku khawatirkan.”

Utsman bin Abul Ash Ats-Tsaqafi berkata: “Aku pun mengerjakan pesan beliau tersebut sehingga Allah menghilangkan penyakitku. Maka aku senantiasa memerintahkan pesan tersebut kepada keluargaku dan orang-orang lain.” (HR. Muslim no. 2202, Abu Daud no. 3891, Tirmidzi no. 2080, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 7546, Ahmad no. 16268 dan Ibnu Hibban no. 2965)

Wallahu a’lam bish-shawab. Semoga bermanfaat.

Sunday, April 17, 2016

Sejarah Kemunculan Hadits Palsu Dan Sebab Terjadinya

Dr. Umar Falatah berkata tentang sejarah kemunculan hadits palsu di tengah-tengah kaum Muslimin,

“Kitab-kitab sejarah yang sangat perhatian kepada setiap kejadian, baik yang besar maupun yang kecil, tidak pernah mencatat untuk kita sebuah kejadian tertentu yang dapat kita jadikan tolak-ukur untuk menentukan awal timbulnya pemalsuan hadits. Paling tidak, semua hanya memberikan gambaran secara umum bahwa sebagian sahabat yang berumur panjang, juga para pembesar tabi’in, mulai tidak menerima semua hadits yang mereka dengar.” [Lihat Al-Wadh’u fil Hadits (I/180)]

Di antara hal yang menunjukkan awal mula terjadinya pemalsuan hadits adalah perkataan Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah,

“Para ulama hadits tadinya tidak menanyakan tentang sanad, tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami nama rawi-rawimu, bila dilihat yang menyampaikannya adalah seorang Ahlus Sunnah maka haditsnya diterima, tetapi bila yang menyampaikannya ahlul bid’ah maka haditsnya ditolak.” [Lihat Muqaddimah Shahih Muslim I/14)

Dari apa yang tampak bahwa sejarah tidak dengan jelas menyebutkan secara pasti bila pemalsuan hadits mulai terjadi, akan tetapi kalau boleh dikatakan maka mungkin fenomena pemalsuan hadits mulai merebak pada sepertiga akhir abad pertama hijriyah. [Lihat Al-Wadh’u fil Hadits (I/202)]

Adapun sebab terjadinya pemalsuan hadits adalah sebagai berikut:

1. Perbuatan kaum zindiq dan ilhad.

Kaum zindiq dan ilhad adalah orang-orang yang mengubah makna dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan makna yang rosak dan bertentangan dengan pokok dasar aqidah Islam. Mereka adalah orang-orang yang pura-pura Islam, akan tetapi sesungguhnya mereka adalah orang-orang kafir dan munafik yang sangat hasad dan benci terhadap Islam. Mereka ingin merosakkan Islam dari dalam dengan berbagai cara, diantaranya membuat hadits-hadits palsu yang jumlahnya sangat banyak, kemudian mereka sebarkan hadits-hadits tersebut atas nama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Tujuan mereka tidak lain kecuali untuk merosakkan syari’at dan mempermainkan agama Allah, sekaligus menanamkan tasykik (keraguan) di hati kaum muslimin.

Hammad bin Zaid rahimahullah pernah berkata,

وَ۶َŰčَŰȘ Ű§Ù„ŰČَّنَۧۯِقَŰ© Űčَلَى ۱َŰłُولِ Ű§Ù„Ù„َّهِ Ű”َلَّى Ű§Ù„Ù„َّهُ Űčَلَيْهِ وَŰłَلَّم ŰŁَ۱ْŰšَŰčَŰ© ŰčَŰŽَ۱ ŰŁَلف Ű­َŰŻِÙŠŰ«

“Kaum zindiq telah memalsukan hadits atas nama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebanyak 14000 hadits palsu.” [Lihat Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah (hal. 604) dan Al-Ba’itsul Hatsits (I/254)]

Ketika salah seorang zindiq yang bernama Abdul Karim bin ‘Auja’ akan dihukum mati oleh seorang penguasa Bashrah pada zaman khilafah Al-Mahdi pada tahun 160 H, ia berkata,

لَقَŰŻْ وَ۶َŰčْŰȘُ فِيْكُم ŰŁَ۱ْŰšَŰčَŰ© ŰŁÙ„Ù Ű­َŰŻٍيْŰ«, ۣۭ۱ِّم فِيْهَۧ Ű§Ù„Ű­َÙ„Ű§َل وَŰŁŰ­Ù„ فِيْهَۧ Ű§Ù„Ű­َ۱َم

“Sesungguhnya aku telah memalsukan hadits sebanyak pada kalian sebanyak 4000 hadits palsu, aku haramkan padanya perkara yang halal dan aku telah halalkan padanya perkara yang haram.” [Lihat Al-Ba’itsul Hatsits (I/254)]

Imam An-Nasa’i rahimahullah berkata berkata, “Para pendusta yang terkenal memalsukan hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ada empat orang: ‘Ibnu Abi Yahya di Madinah, al-Waqidiy di Baghdad, Muqathil bin Sulaiman di Khurasan dan Muhammad bin Sa’id di Syam yang terkenal dengan sebutan Al-Mashlub (orang yang disalib).” [Lihat Adh-Dhu’afa wal Matrukin (hal. 310)]

2. Sikap ta’ashshub (fanatik) terhadap negara, bahasa, atau golongan tertentu.

Adapula kaum yang memalsukan hadits disebabkan mengikuti hawa nafsu, kemudian mereka mengajak manusia mengikutinya dengan meyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah. Seperti ta’ashshub madzhabiyah (fanatik terhadap mazhab tertentu), golongan, atau firqah dan kelompoknya, kabilah atau suku-sukunya, negerinya atau bahasanya dan lain-lain.

Sebagai contoh, hadits palsu yang dibuat oleh orang-orang yang fanatik kepada imam tertentu,

يَكُوْنُ مِنْ ŰŁُمَّŰȘِي ۱َŰŹُلٌ يُقَŰ§Ù„ُ لَهُ مُŰ­َمَّŰŻٌ Űšْنُ Ű„ِŰŻْ۱ِيْŰłَ ŰŁَ۶َ۱ُّ Űčَلَى ŰŁُمَّŰȘِيْ مِنْ Ű„ِŰšْلِيْŰłَ وَيَكُوْنُ مِنْ ŰŁَمَّŰȘِيْ ۱َŰŹُلٌ يُقُŰ§Ù„ُ لَهُ ŰŁَŰšُوْ Ű­َنِيْفَŰ©َ هُوَ Űłِ۱َۧۏ ŰŁُمَّŰȘِيْ

“Akan ada dari kalangan ummatku seorang yang bernama Muhammad bin Idris (yakni Imam Asy-Syafi’i), dia lebih berbahaya bagi ummatku daripada iblis. Dan akan ada di kalangan ummatku seorang yang bernama Abu Hanifah, dia adalah lampu penerang bagi ummatku.” [Lihat Al-Maudhu’at (II/49)]

Dan sebuah hadits palsu yang dibuat oleh orang-orang yang fanatik terhadap bahasanya, seperti hadits yang dibuat oleh orang-orang Persia berikut ini,

Ű„ِنَّ كَلَŰ§Ù…َ Ű§Ù„َّŰ°ِيْنَ Ű­َوْلَ Ű§Ù„ْŰčَ۱ْŰŽِ ŰšِŰ§Ù„ْفَۧ۱ِŰłِيَّŰ©ِ، وَŰ„ِنَّ Ű§Ù„Ù„Ù‡َ Ű„ِŰ°َۧ ŰŁَوْŰ­َى ŰŁَمْ۱ًۧ فِيْهِ لَيْنٍ ŰŁَوْŰ­َŰ§Ù‡ُ ŰšِŰ§Ù„ْفَ۱ِŰłِيَّŰ©ِ، وَŰ„ِŰ°َۧ ŰŁَوْŰ­َى ŰŁَمْ۱ًۧ فِيْهِ ŰŽِŰŻَّŰ©ٍ ŰŁَوْŰ­َŰ§Ù‡ُ ŰšِŰ§Ù„ْŰčَÙ€Ű±َŰšِيَّŰ©ِ

“Sesungguhnya bahasa para Malaikat yang berada di sekitar ‘Arsy adalah bahasa Persia. Dan apabila Allah mewahyukan sesuatu hal yang sifatnya lembut maka Dia mewahyukannya dengan bahasa Persia. Namun jika wahyu itu bersifat keras maka (Allah) menggunakan bahasa Arab.” [Lihat Tanzihusy Syari’ah (I/136)]

Selain itu, ada juga seorang yang bernama Maisarah bin ‘Abdi Rabbih. Dia telah mengaku bahwa dia membuat tujuh puluh hadits palsu atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan-keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. [Lihat Musthalahul Hadits (hal. 40)]

Oleh kerana itu, para ulama telah war-war kepada kita untuk mewaspadai hadits-hadits yang sampai kepadanya, kerana tidak semua hadits itu datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana ‘Abdullah bin Yazid Al-Muqri rahimahullah –guru Imam Malik– pernah berkata: “Seorang ahli bid’ah yang sudah bertaubat dari bid’ahnya berkata,

ŰŁُÙ†Ű·ُ۱ُÙˆŰ§ هَŰ°َۧ Ű§Ù„Ű­َŰŻِÙŠŰ« مِمَّن ŰȘَŰŁŰźُŰ°ُوْنَهُ, فَŰ„ِنَّۧ كَنَۧ Ű„ِŰ°َۧ ۱َŰŁَيْنَۧ ۱َŰŁÙŠًۧ ŰŹَŰčَلْنَŰ§Ù„َهُ Ű­َŰŻِŰ«ًۧ

“Perhatikanlah hadits itu dari siapa kamu mengambilnya! Kerana sesungguhnya kami dahulu, apabila berpendapat dengan satu pendapat, maka kami jadikan pendapat kami itu sebagai satu hadits.” [Lihat Al-Ba’itsul Hatsits (I/257)]

Telah berkata ‘Abdullah bin Lahi’ah (wafat thn. 174 H), aku telah mendengar seorang syaikh dari khawarij yang setelah taubat dan ruju’ berkata,

Ű„ِنَّ هَŰ°ِهِ Ű§Ù„ŰŁَŰ­َŰ§ŰŻÙŠِŰ« ŰŻِين, فَŰ§Ù†Űžُ۱ُÙˆŰ§ Űčَمَّن ŰȘَŰŁŰźُŰ°ُونَ ŰŻِينَكُم, فَŰ„Ù†َّۧ كَنَۧ ۧ۰َۧ Ù‡ÙˆÙŠÙ†Ű§ ŰŁَÙ…Ű±ًۧ Ű”ÙŠŰ±Ù†Ű§Ù‡ Ű­َŰŻِÙŠŰ«ًۧ

“Sesungguhnya hadits-hadits ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agama kamu! Kerana sesungguhnya kami dahulu, apabila kami condong kepada satu urusan (maksudnya faham atau pendapat yang cocok dengan bid’ah mereka), niscaya kami jadikan urusan itu sebagai satu hadits (yakni kami palsukan menjadi sebuah hadits).” [Lihat Al-Kifayah min ‘Ilmir Riwayah (hal. 163) dan Muqaddimah Al-Maudhu’at Ibnul Jauzi (hal. 38-39)]

3. Kaum yang memalsukan hadits, yang menurut persangkaan mereka baik. 

Mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan amal, targhib wat tarhib (anjuran dan larangan), dan lain-lain. Anehnya, mereka tidak merasa keberatan bahkan membolehkannya dengan mengharapkan ganjaran dari Allah Jalla wa ‘Ala. Dan apabila mereka diingatkan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَŰ°َŰšَ Űčَلَيَّ مُŰȘُŰčُمِّŰŻًۧ فَلْيَŰȘَŰšَوَّŰŁْ مَقْŰčَŰŻَŰ©ُ مِنَ Ű§Ù„Ù†َّۧ۱ِ

“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (I/7, 35, 36; II/81 dan IV/145, 157) dan Muslim (I/7, 8), Ahmad (I/83, 321; II/22, 103, 104, 159, 203, 214 dan IV/47, 50, 106, 252), Ibnu Majah (no. 31, 34, 36), Abu Dawud (no. 3651) dan Tirmidzi (IV/142, 147), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Kemudian mereka berkata, “Kami tidak berbohong untuk merusak nama atau syari’at Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, akan tetapi kami berbohong untuk membela baginda shallallahu’alaihi wa sallam.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan alangkah sempurnanya kejahilan mereka dan sedikitnya akal mereka serta begitu banyaknya dosa dan kebohongan mereka. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak butuh kepada orang lain untuk kesempurnaan syari‘at dan keutamaannya. Mereka ini umumnya kaum yang menyandarkan diri mereka kepada zuhud dan sufi.” [Lihat Al-Maudhu’at (I/37-47), Al-Madkhal (hal. 51-59), Adh-Dhu‘afa’ (I/62-66 dan 85), Majmu‘ Fatawa (XVIII/46), Al-Ba’itsul Hatsits (I/263), Syarh Nukhbatul Fikr (hal. 84-85), dan Mizanul I’tidal (II/644)]

4. Qashshash (para tukang cerita atau tukang dongeng).

Adanya orang-orang yang memiliki hobi bercerita dan memberi nasihat, namun kurang bekal ilmu pada akhir zaman khilafah, dan semakin banyak pada zaman setelahnya. Mereka memalsukan hadits dalam cerita-cerita mereka demi wang dan supaya orang-orang yang mendengarnya kagum kepada mereka. [Lihat Al-Ba’itsul Hatsits (I/258) dan Al-Maudhu’at (I/46)]

5. Perselisihan politik.

Akibat terjadinya gejolak politik, muncullah banyak kelompok yang masing-masing ingin menguatkan kelompoknya meskipun dengan jalan memalsukan hadits. Kelompok yang paling banyak melakukan hal ini adalah Syi’ah.
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang Syi’ah dan beliau berkata, “Jangan bicara dengan mereka, juga jangan meriwayatkan hadits dari mereka karena mereka adalah kaum pendusta.” [Lihat Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah (I/16)]

Hammad bin Salamah rahimahullah berkata, “Telah mengabarkan kepadaku seorang syaikh dari Rafidhah (Syi’ah), sesungguhnya mereka berkumpul (bersepakat) untuk memalsukan hadits-hadits.” [Lihat Al-Ba’itsul Hatsits (I/257)]

6. Kaum yang memalsukan hadits demi kepuasan hawa nafsu para penguasa dan untuk mendekatkan diri kepada mereka.

Di antara kalangan ulama, ada sebagian ulama berhati jahat yang membeli kehidupan dunia dengan akhirat. Mereka ‘menjilat’ penguasa dengan mendatangkan fatwa, pendapat dan hadits palsu untuk menyenangkan penguasa tersebut. Sebagaimana pernah dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim ketika dia datang menemui Al-Mahdi, seorang pemimpin Bani Abbasiyyah. Saat itu Al-Mahdi sedang bermain-main dengan burung merpati, kemudian ada yang berkata, “Sampaikanlah sebuah hadits kepada ‘amirul mukminin.”

Lantas dia menyebutkan sanad dan membuat hadits palsu atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa baginda bersabda, “Tidak boleh mengadakan perlombaan, kecuali dalam bidang panah-memanah, naik unta dan kuda, serta bermain burung.”
Kemudian Al-Mahdi pun memberinya 10 ribu dirham. Namun ketika Ghiyats pergi, Al-Mahdi berkata, “Saya bersaksi bahwa engkau adalah seorang pendusta atas nama Rasulullah.”
Selanjutnya dia berkata, “Sayalah yang membuatnya melakukan hal itu.” Kemudian Al-Mahdi menyembelih burungnya tersebut. [Lihat Al-Maudhu’at I/42, Al-Ba’itsul Hatsits (I/261), An-Nukat ‘ala Nuzhatin Nazhar (hal. 119-120), Musthalah Hadits (hal. 38-39)]

Syaikh ‘Ali Hasan Al-Halabi memberi komentar yang amat bagus terhadap kisah ini, “Aduhai, apakah gerangan dosa si burung merpati? Seandainya yang dibunuh adalah si pendusta tersebut (yakni Ghiyats bin Ibrahim), nescaya itulah yang paling tepat.” [Lihat An-Nukat ‘ala Nuzhatin Nazhar (hal. 120)]

7. Perbezaan pendapat dalam masalah akidah dan fiqih.

Ada berbagai golongan yang sangat fanatik terhadap golongannya masing-masing. Sehingga ada diantara mereka yang sampai berani memalsukan hadits demi mendukung pendapat golongan mereka. Sebagai contoh adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Artinya: “Barang siapa yang mengangkat kedua tangannya setelah ruku’ maka tidak ada solat baginya.” [Lihat Al-Maudhu’at (II/197)]

Ciri-Ciri Hadits Palsu

Para ulama ahli hadits telah menetapkan beberapa kaidah dan ciri-ciri untuk mengetahui kepalsuan suatu hadits. Dan ciri-ciri ini dibagi menjadi dua:

Pertama, dilihat dari sisi sanad.

Ada banyak hal yang dapat digunakan untuk mengetahui kepalsuan suatu hadits dilihat dari sisi sanadnya, diantaranya adalah:
1. Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu hanya diriwayatkan olehnya. Selain itu, tidak ada seorang perawi terpercaya yang meriwayatkan hadits itu darinya.

2. Orang yang memalsukan hadits tersebut mengakui perbuatannya memalsukan hadits, seperti yang diakui oleh Abdul Karim bin Abi Auja’ yang mengaku telah memalsukan 4000 hadits.

3. Terbongkarnya kedustaan orang yang meriwayatkan hadits tersebut. Imam Al-‘Iroqi berkata, “Seperti orang yang menceritakan sebuah hadits, dia mengaku bahwa dia mendengarnya dari seorang syaikh pada tahun sekian, padahal syaikh tersebut telah meninggal dunia pada tahun sebelumnya. Dan hadits itu hanya diriwayatkan darinya saja.” [Lihat At-Taqyid wal Idhah (hal. 110)]

4. Adanya bukti kuat yang menunjukkan bahwa perawi hadits tersebut adalah seorang pendusta. Misalkan kenyataan bahwa dia adalah seorang Syi’ah yang fanatik kepada golongannya, kemudian dia meriwayatkan hadits yang mencela para sahabat dan mengagungkan ahlul bait.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,“Bahwa bila sanad hadits itu shahih dapat diterima. Namun, bila tidak shahih maka harus ditinggalkan. Dinyatakan hubungan hadits dengan sanadnya seperti antara hubungan haiwan dengan kakinya.” [Lihat Syarh Shahih Muslim (I/88)]

Dan sejak zaman pemalsuan hadits berkembang di tengah masyarakat Muslim, sebelum para imam ahli hadits itu menerima suatu hadits, mereka terlebih dahulu melakukan kritik sanad (naqdu al-sanad). Atau istilah lain yang juga biasa dipakai untuk melakukan kritik sanad itu ialah kritik ekstern. Para sahabat dan tabi’in adalah yang pertama kali menyeleksi hadits, diantaranya adalah dengan berpegang teguh kepada sanad. [Lihat As-Sunnah Qabla At-Tadwin (hal. 219), Al-Manhal Rawi (hal. 33), dan Tadribur Rawi (I/63)]

Kedua, dilihat dari sisi matan.

Matan (مŰȘن) adalah kalam (perkataan) yang disampaikan oleh sanad yang terakhir. [Lihat Syarah Nukhbatul Fikr (hal. 40) dan Tadribur Rawi (I/28)]

Diantara hal penting yang dapat diketahui dari sisi matan adalah:

1. Susunan dan tata bahasanya buruk. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang dianugrahi kemampuan untuk meringkas kalimat dengan padat, jelas dan bermakna luas (jawami’ul kalim). Oleh sebab itu, setiap kalimat yang buruk tata bahasa dan susunannya, dipastikan bukan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun demikian, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Buruknya tata bahasa (dalam menyampaikan hadits) tidak selamanya menunjukkan bahwa hadits itu palsu. Kerana diperbolehkan untuk meriwayatkan hadits dengan makna (yang sesuai dengan hadits tersebut). Namun jika perawi hadits itu mengatakan dengan tegas bahwa (hadits) ini adalah ucapan Rasulullah maka keburukan tata bahasanya menunjukkan kepalsuan (hadits)nya.” [Lihat An-Nukat ‘ala Kitab Ibnu Shalah (hal. 360)]

2. Makna haditsnya rosak. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, “Jika engkau melihat ada sebuah hadits yang bertentangan dengan akal yang sihat atau bertentangan dengan nash (dalil) yang qath’i serta bertentangan dengan sebuah dasar hukum, ketahuilah bahwa itu adalah sebuah hadits palsu.” [Lihat Hadits Lemah dan Palsu (hal. 38)]

3. Haditsnya bertentangan dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunah yang shahih, dan hadits tersebut tidak mungkin untuk dibawa pada makna yang benar.

4. Haditsnya bertentangan dengan fakta sejarah pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

5. Haditsnya sesuai dengan madzhab dari perawinya, dan diketahui bahwa perawi tersebut adalah orang yang sangat fanatik terhadap mazhabnya.

6. Hadits tersebut seharusnya diriwayatkan oleh banyak orang, kerana hadits itu disampaikan disebuah tempat yang didengar oleh banyak orang dan merupakan sebuah perkara besar. Namun, ternyata tidak ada yang meriwayatkan hadits tersebut kecuali darinya saja.

7. Hadits yang menunjukkan adanya pahala besar untuk sebuah amal perbuatan yang kecil. Atau hadits yang menyebutkan tentang ancaman yang begitu dahsyat atas sebuah dosa yang kecil. Hadits-hadits semacam ini banyak dijumpai dikalangan tukang cerita dan kaum sufi.

8. Hadits itu terdapat dalam sebuah kitab atau buku tanpa disebutkan siapa yang meriwayatkannya dan juga tanpa disebutkan sanadnya. Padahal sanad adalah tolok-ukur diterima atau ditolaknya suatu hadits. Sebagaimana dikatakan oleh Imam ‘Abdullah bin Mubarak rahimahullah, “Sanad adalah bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad maka semua orang akan berbicara semaunya.” [Lihat Muqaddimah Shahih Muslim (I/15)]
Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk pada kitab Al-Manarul Munif fish Shahih wadh Dha’if, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.

Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustaz Ammi Nur Baits

Rujukan :

1. Al-Ba’itsul Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulumil Hadits, AL-Hafizh Ibnu Katsir, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.

2. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Imam Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, cetakan Darul Afaq Al-Jadidah, Beirut.

3. Al-Maudhu’at min Al-Ahaditsil Marfu’at, Ibnul Jauzi, cetakan Adhwa’us Salaf, Riyadh.

4. Al-Wadh’u fil Hadits, Dr. ‘Umar Hasan Falatah, cetakan Maktabah Al-Ghazali, Damaskus.

5. As-Sunnah Qabla At-Tadwin, Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, cetakan Maktabah Wahbah, Kairo.

6. As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri’ Al-Islami, Mushthafa As-Siba’i, cetakan Al-Maktab Al-Islami, Damaskus.

7. Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriyyah, Abu ‘Ubaidah Yusuf As-Sidawi dan Abu ‘Abdillah Syahrul Fatwa, cetakan Pustaka Darul Ilmi, Bogor.

8. Fathul Bari bi Syarh Shahih Bukhari, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, cetakan Darul Hadits, Kairo.

9. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf.

10. Irwa’ul Ghalih fi Takhriji Ahadits Manaris Sabil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Al-Maktab Al-Islami, Beirut.

11. Manzilatus Sunnah fit Tasyri’ Al-Islami, Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami, cetakan Darul Minhaj, Kairo.

12. Musthalahul Hadits, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.

13. Penolakan M. Quraish Shihab Terhadap Hadits Keberadaan Allah (Sebuah Tinjauan Kritik Hadits), Sofyan Hadi bin Isma’il Al-Muhajirin, skripsi kelulusan sarjana Fakultas Tafsir Hadits UIN, Bandung.

14. Qawa’idut Tahdits, Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut.

15. Shahih Muslim, Imam Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut.

16. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.

17. Sunan Ibnu Majah, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Zaid Al-Qazwini (Ibnu Majah), cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.

18. Syarh Manzhumah Al-Baiquniyyah, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Maktabah Al-‘Ilmu, Kairo.

19. Syarh Nukhbatul Fikr fi Musthalah Ahlil Atsar, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaniy, cetakan Darul Mughniy, Riyadh.

20. Syarhus Sunnah, Imam Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al-Barbahari, cetakan Maktabah Darul Minhaj, Riyadh.

21. Tadribur Rawi, Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi, cetakan Daar Thaybah, Riyadh.

22. Taisir Musthalahul Hadits, Mahmud Ath-Thahhan, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.

23. Takhrijul Ihya’ ‘Ulumuddin, Al-Hafizh Abi Fadhl Zainuddin ‘Abdurrahman bin Husain Al-‘Iroqi, cetakan Maktabah Daar Thabariyyah, Riyadh.

24. Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Daar Ar-Rayah, Riyadh.

25. Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, cetakan Baitul Afkar Ad-Dauliyyah, Riyadh.

26. Dan kitab-kitab lain.