Saturday, April 12, 2014

Sunah Dalam Wuduk

Sunnah dalam wuduk :


Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:

كَŰ§Ù†َ Ű§Ù„Ù†َّŰšِيُّ Ű”َلَّى Ű§Ù„Ù„َّهُ Űčَلَيْهِ وَŰłَلَّمَ يُŰčْŰŹِŰšُهُ Ű§Ù„ŰȘَّيَمُّنُ فِي ŰȘَنَŰčُّلِهِ وَŰȘَ۱َŰŹُّلِهِ وَŰ·ُهُÙˆŰ±ِهِ وَفِي ŰŽَŰŁْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suka memulai dari sebelah kanan saat mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam seluruh urusan beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)

Dari Abu Hurairah r.a. dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَوْلَۧ ŰŁَنْ ŰŁَŰŽُقَّ Űčَلَى ŰŁُمَّŰȘِي لَŰŁَمَ۱ْŰȘُهُمْ ŰšِŰ§Ù„ŰłِّوَŰ§Ùƒِ مَŰčَ كُلِّ ْوُ۶ُÙˆŰĄٍ

“Sekiranya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali wuduk.” (HR. Ahmad dalam beberapa tempat dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 70)

Dari Umar r.a. dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- bahwa beliau bersabda:

مَۧ مِنْكُمْ مِنْ ŰŁَŰ­َŰŻٍ يَŰȘَوَ۶َّŰŁُ فَيُŰšْلِŰșُ ŰŁَوْ فَيُŰłْŰšِŰșُ Ű§Ù„ْوَ۶ُÙˆŰĄَ Ű«ُمَّ يَقُولُ ŰŁَŰŽْهَŰŻُ ŰŁَنْ لَۧ Ű„ِلَهَ Ű„ِلَّۧ Ű§Ù„Ù„َّهُ وَŰŁَنَّ مُŰ­َمَّŰŻًۧ ŰčَŰšْŰŻُ Ű§Ù„Ù„َّهِ وَ۱َŰłُولُهُ Ű„ِلَّۧ فُŰȘِŰ­َŰȘْ لَهُ ŰŁَŰšْوَُۧۚ Ű§Ù„ْŰŹَنَّŰ©ِ Ű§Ù„Ű«َّمَŰ§Ù†ِيَŰ©ُ يَŰŻْŰźُلُ مِنْ ŰŁَيِّهَۧ ŰŽَۧۥَ

“Tidaklah salah seorang di antara kalian berwuduk, lalu bersungguh-sungguh atau menyempurnakan wuduknya kemudian dia membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WA ANNA MUHAMMADAN ABDULLAHI WARASULUH (Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya) melainkan kedelapan pintu surga akan dibukakan untuknya. Dia masuk dari pintu manapun yang dia kehendaki.” (HR. Muslim no. 234)

Dalam riwayat lain dengan lafazh:

مَنْ ŰȘَوَ۶َّŰŁَ فَقَŰ§Ù„َ ŰŁَŰŽْهَŰŻُ ŰŁَنْ لَۧ Ű„ِلَهَ Ű„ِلَّۧ Ű§Ù„Ù„َّهُ وَŰ­ْŰŻَهُ لَۧ ŰŽَ۱ِيكَ لَهُ وَŰŁَŰŽْهَŰŻُ ŰŁَنَّ مُŰ­َمَّŰŻًۧ ŰčَŰšْŰŻُهُ وَ۱َŰłُولُهُ

“Barangsiapa yang berwuduk lalu membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKALAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ABDUHU WARASULUH (Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Di antara kesempurnaan wuduk adalah disunnahkan untuk memulai dengan mencuci anggota wuduk yang sebelah kanan sebelum yang kiri, yakni pada kedua telapak tangan, tangan sampai siku, dan kedua kaki. Hanya saja berhubung hukumnya sunnah, maka barangsiapa yang memulai dengan yang kiri maka sungguh dia telah menyelisihi sunnah walaupun dia tidak berdosa dan wudhunya tidak makruh apalagi batal. Dan syariat memulai dengan yang kanan ini berlaku pada semua jenis amalan dan tindakan, berdasarkan hadits Aisyah di atas.

Kemudian, sebelum wuduk, seseorang juga disunnahkan untuk bersiwak. Siwak secara bahasa mempunyai dua makna:

.Akar kayu yang sudah ma’ruf (diketahui bersama) yang digunakan untuk membersihkan gigi.
.Pekerjaan membersihkan gigi.
Karenanya semua pekerjaan membersihkan gigi itu dinamakan bersiwak walaupun tidak menggunakan kayu siwak, menurut pendapat yang paling kuat. Maka jika seseorang tidak mempunyai kayu siwak, dia tetap boleh mengerjakan sunnah yang mulia ini dengan cara membersihkan giginya dengan pasta gigi, atau sekedar dengan sikat gigi atau dengan menggosok giginya dengan kain atau jari, dan seterusnya dari bentuk pekerjaan membersihkan gigi.
Walaupun demikian, tentu saja lebih utama seseorang itu bersiwak dengan kayu siwak, karena inilah yang datang dalam nukila perbuatan Nabi SAW, bahwa beliau bersiwak dengan menggunakan kayu siwak.

Hadits Abu Hurairah tentang siwak di atas juga sebagai sanggahan kepada sebagian ulama yang memakruhkan atau melarang seseorang yang berpuasa untuk bersiwak/menggosok gigi setelah zuhur. Hal itu karena hadits di atas datang dalam bentuk umum ‘setiap kali wudhu’, tanpa ada pembedaan dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- antara sedang puasa dengan tidak puasa. Karenanya tetap disunnahkan seseorang yang berpuasa untuk bersiwak, dan bagi yang menggunakan pasta gigi harus tetap menjaga jangan sampai ada pasta yang tertelan olehnya.

Kemudian, sunnah terakhir yang tersebut dalam dalil-dalil di atas adalah sunnahnya berdoa setelah wudhu dengan doa yang ma`tsur di atas, dan Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah menjanjikan pahala masuk surga bagi siapa saja yang mengucapkannya.

Pembatal-pembatal wuduk

Telah kita ketahui bersama bahwa hadats adalah suatu keadaan yang mengharuskan seseorang untuk bersuci, baik itu hadats besar maupun hadats kecil. Dan telah dijelaskan bahwa hadats besar adalah hadats yang hanya boleh dihilangkan dengan mandi junub dan yang semacamnya, sementara hadats kecil adalah yang boleh dihilangkan cukup dengan wuduk, walaupun boleh juga dihilangkan dengan mandi. Edisi kali ini kami akan membahas mengenai pembatal wuduk atau hadats kecil dan sedikit menyinggung tentang hadats besar.

Sebelum kami mulai, maka di sini ada satu kaidah yang perlu diperhatikan, yaitu: Asal seseorang yang telah berwuduk adalah wuduknya tetap sah sampai ada dalil shahih yang menyatakan wuduknya batal. Setelah ini dipahami, maka ketahuilah bahwa pembatal wuduk secara umum terbagi menjadi dua jenis:A.Yang disepakati oleh para ulama bahwa dia adalah pembatal wuduk.

1.Tinja dan kencing.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Atau salah seorang di antara kalian datang dari buang air atau kalian menyentuh wanita lalu dia tidak menemukan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang baik.” (QS. Al-Maidah: 6)
Juga hadits Shafwan bin Assal dia berkata, “Nabi -shallallahu alaihi wasallam- memerintahkan kami kalau kami sedang safar agar kami tidak melepaskan sepatu-sepatu kami selama tiga hari-tiga malam kecuali kalau dalam keadaan junub, akan tetapi kalau buang air besar, kencing dan tidur.” (HR. At-Tirmizi)
Semisal dengannya wadi, dia adalah air yang keluar setelah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang melelahkan atau sesaat setelah selesai kencing. Hukumnya sama seperti kencing.

2. Madzi, yaitu cairan yang keluar dari kemaluan ketika sedang melakukan percumbuan dengan istri atau ketika mengkhayalkan hal seperti itu.
Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda tentang seseorang yang mengeluarkan madzi, 
“Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwuduk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Kentut.
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- memberi fatwa kepada seseorang yang ragu apakah dia kentut dalam shalat ataukah tidak, “Jangan dia memutuskan shalatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid)

4. Semua hadats besar juga adalah pembatal wuduk, yaitu: Keluarnya mani, jima’, haid, nifas, hilangnya akal dengan pingsan, gila atau mabuk dan murtad. Insya Allah semua ini akan kami bahas pada pembahasan mandi wajib.

Sedangkan yang diperselisihkan oleh para ulama apakah dia pembatal wuduk

1. Tidur.
Ada dua jenis dalil yang lahiriahnya bertentangan di sini. Yang pertama adalah hadits Shafwan bin Assal yang telah berlalu, yang menunjukkan bahwa tidur adalah pembatal wudhu. Yang kedua adalah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa para sahabat pernah lama menunggu Nabi -shallallahu alaihi wasallam- untuk keluar melaksanakan shalat isya, sampai-sampai sebagian di antara mereka tertidur kemudian bangun kemudian tertidur lagi kemudian tertidur lagi, baru setelah itu Nabi keluar untuk mengimami mereka. (HR. Al-Bukhari) Bahkan dalam sebuah riwayat Abu Daud dari Anas disebutkan, “Kemudian mereka mengerjakan shalat dan mereka tidak berwudhu.” Maka hadits ini menujukkan bahwa tidurnya mereka tidak membatalkan wudhu mereka.
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat yang membedakan antara tidur yang nyenyak dengan tidur yang tidak nyenyak atau sekedar terkantuk-kantuk. Yang pertama membatalkan wudhu -dan tidur inilah yang dimaksudkan dalam hadits Shafwan-, sedang tidur yang kedua tidak membatalkan wudhu -dan inilah yang dimaksudkan dalam hadits Anas-, wallahu a’lam. Ini adalah pendapat Malik, Az-Zuhri, Al-Auzai dan yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Rusyd, Ibnu Abdil Barr, Asy-Syaikh Ibnu Bazz dan Asy-Syaikh Muqbil -rahimahumullah-.
[Lihat An-Nail: 1/190, Syarh Muslim karya An-Nawawi: 4/74 dan Al-Ausath: 1/142]

2.Darah istihadhah.

Dia adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita, bukan pada waktu haidnya dan bukan pula karena melahirkan.
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah bahwa darah istihadhah tidaklah membatalkan wuduk, karena tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan hal itu. Dan hukum asal pada wudhu adalah tetap ada sampai ada dalil yang menetapkan batalnya. Asy-Syaukani berkata dalam An-Nail,

“Tidak ada satu pun dalil yang boleh dijadikan hujjah, yang mewajibkan wuduk bagi wanita yang mengalami istihadhah.”

Di antara dalil lemah tersebut adalah hadits Aisyah tentang sabda Nabi kepada seorang sahabiah yang terkena istihadhah, “Kemudian berwudhulah kamu setiap kali mau shalat.” Hadits ini adalah hadits yang syadz lagi lemah, dilemahkan oleh Imam Muslim, An-Nasai, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dan selainnya.
[Lihat Al-Fath: 1/409, As-Sail: 1/149 dan As-Subul: 1/99]

3. Menyentuh kemaluan.

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pernah ditanya oleh seseorang yang menyentuh kemaluannya, apakah dia wajib berwudhu? Maka beliau menjawab, 

“Tidak, itu hanyalah bagian dari anggota tubuhmu.” (HR. Imam Lima dari Thalq bin Ali) 

Maka hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu.
Tapi di sisi lain beliau -shallallahu alaihi wasallam- juga pernah bersabda, 

“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. Imam Lima dari Busrah bintu Shafwan) Dan ini adalah nash tegas yang menunjukkan batalnya wudhu dengan menyentuh kemaluan.

Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin adalah pendapat yang memadukan kedua hadits ini dengan menyatakan: Menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu akan tetapi disunnahkan -tidak diwajibkan- bagi orang yang menyentuh kemaluannya untuk berwudhu kembali.

Jadi perintah yang terdapat dalam hadits Busrah bukanlah bermakna wajib tapi hanya menunjukkan hukum sunnah, dengan dalil Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tidak mewajibkan wudhu padanya -sebagaimana dalam hadits Thalq-. Wallahu a’lam bishshawab.
[Lihat Al-Ausath: 1/193, A-Mughni: 1/180, An-Nail: 1/301, Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/ 278-284 dan As-Subul: 1/149]

4. Bersentuhan dengan wanita.

Menyentuh wanita -yang mahram maupun yang bukan- tidaklah membatalkan wuduk, berdasarkan hadits Aisyah dia berkata,

“Sesungguhnya Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah mencium sebagian istrinya kemudian beliau keluar mengerjakan shalat dan beliau tidak berwuduk lagi.” (HR. Ahmad, An-Nasai, At-Tirmizi dan Ibnu Majah)

Ini adalah pendapat Daud Azh-Zhahiri dan mayoritas ulama muhaqqiqin, seperti: Ibnu Jarir Ath-Thabari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Ibnu Katsir, dan dari kalangan muta`akhkhirin: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil dan selainnya.
Adapun sebagian ulama yang berdalilkan dengan firman Allah Ta’ala, 

“Atau kalian menyentuh wanita …,” (QS. Al-Maidah: 6)

bahwa menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu.
Maka bisa dijawab dengan dikatakan bahwa kata ‘menyentuh’ dalam ayat ini bukanlah ‘menyentuh’ secara umum, akan tetapi dia adalah ‘menyentuh’ yang sifatnya khusus, yaitu jima’ (hubungan intim).
Demikianlah Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib -radhiallahu anhuma- menafsirkan bahwa ‘menyentuh’ di sini adalah bermakna jima’. Hal ini sama seperti pada firman Allah Ta’ala tentang ucapan Maryam, 

“Bagaimana mungkin saya akan mempunyai seorang anak sementara saya belum pernah disentuh oleh seorang manusia pun dan saya bukanlah seorang pezina.” (QS. Maryam: 20)

Dan kata ‘disentuh’ di sini tentu saja bermakna jima’ sebagaimana yang boleh dipahami dengan jelas.
Ini juga diperkuat oleh hadits Aisyah riwayat Al-Bukhari dan Muslim bahwa dia pernah tidur terlentang di depan Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- yang sedang shalat.
Ketika beliau akan sujud, beliau menyentuh kaki Aisyah agar dia menarik kakinya. Seandainya menyentuh wanita membatalkan wudhu, niscaya beliau -shallallahu alaihi wasallam- akan membatalkan shalatnya ketika menyentuh Aisyah.
[Lihat An-Nail: 1/195, Fathu Al-Qadir: 1/558, Al-Muhalla: 1/244, Al-Ausath: 1/113 dan Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/286-291]

Catatan:

Menyentuh wanita -baik yang mahram maupun yang bukan- tidaklah membatalkan wuduk, hanya saja ini bukan berarti boleh menyentuh wanita yang bukan mahram. Karena telah shahih dari Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda, 

“Seseorang di antara kalian betul-betul ditusukkan jarum besi dari atas kepalanya -dalam sebagian riwayat: Sampai tembus ke tulangnya-, maka itu lebih baik bagi dirinya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dari Ma’qil bin Yasar)

5. Mimisan dan muntah, baik memuntahkan sesuatu yang sudah ada di dalam perut atau yang masih berada di tenggorokan.

Semua ini bukanlah pembatal wudhu karena tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan hal tersebut, karenanya kita kembali ke hukum asal yang telah kami sebutkan sebelumnya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahumallah-.
Adapun hadits, 
“Barangsiapa yang muntah (dari perut) atau mimisan atau muntah (dari tenggorokan) atau mengeluarkan madzi maka hendaknya dia pergi dan berwudhu.” (HR. Ibnu Majah dari Aisyah)
maka ini adalah hadits yang lemah. Imam Ahmad dan Al-Baihaqi telah melemahkan hadits ini, karena di dalam sanadnya ada Ismail bin Ayyasy dan dia adalah rawi yang lemah.

6. Mengangkat dan memandikan jenazah.

Ada beberapa hadits dalam permasalahan ini, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Barangsiapa yang memandikan mayit maka hendaknya dia juga mandi, dan barangsiapa yang mengangkatnya maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmizi)
Akan tetapi hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Az-Zuhri, Abu Hatim, Ahmad, Ali bin Al-Madini dan Al-Bukhari. Adapun hadits-hadits lainnya, maka kami sendiri pernah mentakhrij jalan-jalannya dan kami menemukannya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-, “Tidak ada satu pun hadits shahih yang ada dalam permasalahan ini.”

Keslahan-kesalahan dalam berwudhu

Wudhu memiliki kedudukan yang penting dalam agama kita. Tidak sahnya wudhu seseorang dapat menyebabkan sholat yang ia kerjakan menjadi tidak sah, sedangkan sholat adalah salah satu rukun Islam yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk memperhatikan bagaimana dia berwudhu. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak diterima sholat yang dilakukan tanpa wudhu dan tidak diterima shodaqoh yang berasal dari harta yang didapat secara tidak halal.” (HR. Muslim)

Kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh kaum muslimin pada tata cara berwudhu diantaranya:

1. Melafazhkan niat.

Kebiasaan salah yang sering dilakukan kaum muslimin ini bukan hanya dalam masalah wudhu saja, bahkan dalam berbagai macam ibadah. Rosululloh tidak pernah melafazhkan niat ketika berwudhu sedangkan orang yang mengamalkan perkara ibadah yang tidak pernah ada contohnya dari Rosululloh maka amalan itu tertolak (Lihat hadits Arba’in Nawawiyah no. 5) dan bahkan akan mendatangkan murka Alloh. Patokan dalam tata cara ibadah adalah mengikuti Rosululloh, bukan akal pikiran atau perasaaan kita sendiri yang akan menjadi hakim mana yang baik dan mana yang buruk. Andaikan itu adalah hal yang baik, mengapa Rosululloh tidak mengajarkannya atau tidak melakukannya? Apa mereka merasa lebih pintar, lebih sholih, lebih bertaqwa, lebih berilmu daripada Rosululloh? Apakah mereka merasa bahwa Rosululloh bodoh terhadap hal-hal yang baik sampai mereka berkarya sendiri? Maka siapakah yang kalian ikuti dalam ibadah ini wahai para pelafazh niat…???

2. Membaca doa-doa khusus dalam setiap gerakan wudhu seperti doa membasuh muka, do’a membasuh kepala dan lain-lain.

Tidak ada riwayat shohih yang menjelaskan tentang hal tersebut.

3. Tidak membaca “bismillah”

padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna wudhu’ sesorang yang tidak membaca basmallah.” (HR. Ahmad)

4. Hanya berkumur tanpa istinsyaq (memasukkan air ke hidung)

padahal keduanya termasuk dalam membasuh wajah. Adapun yang sesuai sunnah adalah menyatukan antara berkumur-kumur dangan beristinsyaq dengan satu kali cidukan berdasarkan hadits Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang tata cara berwudhu. (HR. Bukhari, Muslim)

5. Tidak membasuh kedua tangan sampai siku,

hal ini sering kita lihat pada orang yang berwudhu cepat bagaikan kilat sehingga tidak memperhatikan bahwa sikunya tidak terbasuh. Padahal Alloh Ta’ala berfirman, 

“Dan basuhlah kedua tanganmu hingga kedua siku.” (Al Maaidah: 6)

6. Memisah antara membasuh kepala dengan membasuh telinga

padahal yang benar adalah membasuh kepala dan telinga dalam satu kali ciduk. Dan ini hanya dilakukan satu kali, bukan tiga kali seperti pada bagian lain, hal ini berdasarkan hadits dari Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang tata cara berwudhu. (HR. Bukhari, Muslim)

7. Tidak memperhatikan kebagusan wudhunya sehingga terkadang ada anggota wudhunya yang seharusnya terbasuh tetapi belum terkena air.

Rosululloh pernah melihat seorang yang sedang sholat sedangkan pada punggung telapak kakinya ada bagian seluas uang dirham yang belum terkena air, kemudian beliau memerintahkannya untuk mengulang wudhu dan sholatnya.

8. Was-was ketika berwudhu.

Sering kita melihat ketika seseorang berwudhu hingga sampai ke tangannya, dia teringat bahwa lafazh niatnya belum mantap sehingga dia mengulang wudhunya dari awal bahkan kejadian ini terus berulang dalam wudhunya tersebut hingga iqomah dikumandangkan, hal seperti ini adalah was-was dari syaithon yang tidak berdasar. Wallahul musta’an.

Demikianlah sedikit paparan mengenai sekelumit kesalahan dalam berwudhu yang banyak kita jumpai pada kaum Muslimin khususnya di negeri kita ini, semoga bermanfaat dan menjadikan kita lebih memperhatikannya lagi. Wallohu a’lam bish showab.

Sifat wudhu nabi Muhammad saw

Allah Ta’ala berfirman:

يَۧ ŰŁَيُّهَۧ Ű§Ù„َّŰ°ِينَ ŰąÙ…َنُÙˆŰ§ْ Ű„ِŰ°َۧ قُمْŰȘُمْ Ű„ِلَى Ű§Ù„Ű”َّÙ„Ű§Ű©ِ ÙŰ§ŰșْŰłِلُÙˆŰ§ْ وُŰŹُوهَكُمْ وَŰŁَيْŰŻِيَكُمْ Ű„ِلَى Ű§Ù„ْمَ۱َŰ§Ùِقِ وَŰ§Ù…ْŰłَŰ­ُÙˆŰ§ْ Űšِ۱ُŰ€ُÙˆŰłِكُمْ وَŰŁَ۱ْŰŹُلَكُمْ Ű„ِلَى Ű§Ù„ْكَŰčْŰšَينِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai dengan siku, dan usaplah kepala-kepala kalian dan (cucilah) kaki-kaki kalian sampai pada kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

Dari Humran budak Utsman bin Affan dia berkata:
ŰŁَنَّهُ ۱َŰŁَى ŰčُŰ«ْمَŰ§Ù†َ Űšْنَ ŰčَفَّŰ§Ù†َ ŰŻَŰčَۧ Űšِوَ۶ُÙˆŰĄٍ فَŰŁَفْ۱َŰșَ Űčَلَى يَŰŻَيْهِ مِنْ Ű„ِنَۧۊِهِ فَŰșَŰłَلَهُمَۧ Ű«َلََۧ۫ مَ۱َّۧŰȘٍ Ű«ُمَّ ŰŁَŰŻْŰźَلَ يَمِينَهُ فِي Ű§Ù„ْوَ۶ُÙˆŰĄِ Ű«ُمَّ ŰȘَمَ۶ْمَ۶َ وَۧ۳ْŰȘَنْŰŽَقَ وَۧ۳ْŰȘَنْŰ«َ۱َ Ű«ُمَّ ŰșَŰłَلَ وَŰŹْهَهُ Ű«َلًَۧ۫ۧ وَيَŰŻَيْهِ Ű„ِلَى Ű§Ù„ْمِ۱ْفَقَيْنِ Ű«َلًَۧ۫ۧ Ű«ُمَّ مَŰłَŰ­َ Űšِ۱َŰŁْŰłِهِ Ű«ُمَّ ŰșَŰłَلَ كُلَّ ۱ِŰŹْلٍ Ű«َلًَۧ۫ۧ Ű«ُمَّ قَŰ§Ù„َ ۱َŰŁَيْŰȘُ Ű§Ù„Ù†َّŰšِيَّ Ű”َلَّى Ű§Ù„Ù„َّهُ Űčَلَيْهِ وَŰłَلَّمَ يَŰȘَوَ۶َّŰŁُ نَŰ­ْوَ وُ۶ُÙˆŰŠِي هَŰ°َۧ وَقَŰ§Ù„َ مَنْ ŰȘَوَ۶َّŰŁَ نَŰ­ْوَ وُ۶ُÙˆŰŠِي هَŰ°َۧ Ű«ُمَّ Ű”َلَّى ۱َكْŰčَŰȘَيْنِ لَۧ يُŰ­َŰŻِّŰ«ُ فِيهِمَۧ نَفْŰłَهُ Űșَفَ۱َ Ű§Ù„Ù„َّهُ لَهُ مَۧ ŰȘَقَŰŻَّمَ مِنْ Ű°َنْŰšِهِ

“Bahwa dia melihat Utsman bin Affan minta untuk diambilkan air wudlu. Lalu beliau menuang bejana itu pada kedua tangannya, lalu dia mencuci kedua tangannya tersebut hingga tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudlunya, kemudian berkumur, menghirup air ke dalam hidung, dan mengeluarkannya. Kemudian beliau mencuci mukanya tiga kali, mencuci kedua tangannya hingga ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengusap kepalanya lalu mencuci setiap kakinya tiga kali. Setelah itu beliau berkata, “Aku telah melihat Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia shalat dua rakaat, dan tidak menyibukkan hatinya dalam kedua rakaat itu, maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226)

Dari Abdullah bin Zaid ketika beliau memperagakan sifat wudhunya Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

فَŰŁَكْفَŰŁَ Űčَلَى يَŰŻِهِ مِنْ Ű§Ù„ŰȘَّوْ۱ِ فَŰșَŰłَلَ يَŰŻَيْهِ Ű«َلًَۧ۫ۧ Ű«ُمَّ ŰŁَŰŻْŰźَلَ يَŰŻَهُ فِي Ű§Ù„ŰȘَّوْ۱ِ فَمَ۶ْمَ۶َ وَۧ۳ْŰȘَنْŰŽَقَ وَۧ۳ْŰȘَنْŰ«َ۱َ Ű«َلََۧ۫ Űșَ۱َفَۧŰȘٍ Ű«ُمَّ ŰŁَŰŻْŰźَلَ يَŰŻَهُ فَŰșَŰłَلَ وَŰŹْهَهُ Ű«َلًَۧ۫ۧ Ű«ُمَّ ŰșَŰłَلَ يَŰŻَيْهِ مَ۱َّŰȘَيْنِ Ű„ِلَى Ű§Ù„ْمِ۱ْفَقَيْنِ Ű«ُمَّ ŰŁَŰŻْŰźَلَ يَŰŻَهُ فَمَŰłَŰ­َ ۱َŰŁْŰłَهُ فَŰŁَقْŰšَلَ Űšِهِمَۧ وَŰŁَŰŻْŰšَ۱َ مَ۱َّŰ©ً وَِۭۧŰŻَŰ©ً Ű«ُمَّ ŰșَŰłَلَ ۱ِŰŹْلَيْهِ Ű„ِلَى Ű§Ù„ْكَŰčْŰšَيْنِ

“Dia menuangkan air dari gayung ke telapak tangannya lalu mencucinya tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung, dan mengeluarkannya kembali dengan tiga kali cidukan. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu membasuh mukanya tiga kali. Kemudian dia membasuh kedua tangannya dua kali sampai ke siku. Kemudian memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu mengusap kepalanya dengan tangan; mulai dari bagian depan ke belakang dan menariknya kembali sebanyak satu kali. Lalu dia mencuci kedua kakinya hingga mata kaki.” (HR. Al-Bukhari no. 186 dan Muslim no. 235)

Kemudian perlu diketahui bahwa dalam mengetahui sifat wudhu Nabi -alaihishshalatu wassalam-, kebanyakan para ulama bersandarkan pada hadits Utsman bin Affan dan hadits Abdullah bin Zaid yang keduanya adalah riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Karena itu ada baiknya kalau kami menyebutkan kedua hadits ini:

A.Hadits Utsman bin Affan

Dari Humran maula Utsman, bahwa dia melihat Utsman meminta air wudhu: Lalu dia menuangkan air dari bejana ke dua telapak tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu lalu berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkannya). Kemudian dia mencuci wajahnya tiga kali lalu kedua tangan sampai ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengusap kepalanya lalu mencuci kedua kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian setelah selesai dia (Utsman) berkata, “Saya melihat Nabi -alaihishshalatu wassalam- berwudhu seperti yang saya lakukan ini.”

B.Hadits Abdullah bin Zaid

Dimana beliau juga memperagakan sifat wudhu Nabi.
Dia meminta baskom berisi air lalu menuangkan air ke dua telapak tangannya dan mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya kedalam baskom lalu berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar sebanyak tiga kali dari tiga kali mengambil air. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci wajahnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci tangan sampai sikunya sebanyak dua kali. Kemudian dia mengambil air lalu mengusap kepalanya -ke belakang dan ke depan- sebanyak satu kali. Kemudian dia mencuci kedua kakinya.
Dalam sebagian riwayat: 
Beliau memulai mengusap pada bagian depan kepalanya kemudian mendorong kedua tangannya sampai ke tengkuknya, kemudian kedua tangannya kembali ke bagian depan kepalanya.

Rukun Dan Tata Cara Wuduk Sebenar


Rukun dan Tata Cara wuduk yang benar

1.Dalil wajibnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Maidah ayat 6 yang telah kami bawakan, dan juga sabda Nabi SAW maksudnya, “Allah tidak akan menerima solat tanpa taharah,” (HR. Al-Jamaah kecuali Al-Bukhari)

2.Nabi SAW berwuduk setiap kali mahu solat (HR. Al-Bukhari dan Imam Empat). 

Baginda bersabda lagi, “Seandainya saya tidak menyusahkan umatku nescaya saya akan memerintahkan mereka untuk berwuduk setiap kali mahu solat, dan bersama wuduk ada bersiwak.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih sebagaimana dalam Al-Muntaqa)

3.Niat hukumnya adalah rukun wuduk, 

Berdasarkan sabda Nabi SAW yang masyhur, “Sesungguhnya setiap amalan -sah atau tidaknya- tergantung dengan niat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4.Didahului dengan bersiwak atau menyikat gigi.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW, “Seandainya saya tidak takut untuk menyusahkan umatku, nescaya aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali wuduk.” (HR. Malik dari Abu Hurairah)

5.Lalu membaca basmalah -dan hukumnya adalah sunnah-, dengan dalil sabda Nabi SAW yang bermaksud,  “Berwuduklah kalian dengan membaca bismillah.” (Dihasankan oleh Al-Albani)

6.Mencuci kedua telapak tangan tiga kali dan hukumnya adalah sunat berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

7.Berkumur dan memasukkan sebagian air ke dalam hidung lalu dikeluarkan,

Perlu untuk diperhatikan termasuk di dalamnya madhmadhoh (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dan menghirupnya hingga ke bagian dalam hidung).

Nabi SAW bersabda maksudnya, “Apabila salah seorang dari kalian berwuduk hendaklah ia melakukan istinsyaq.” (HR. Muslim). 

Adapun tentang madhmadhoh, Nabi SAW  bersabda maksudnya, “Jika engkau berwuduk, maka lakukanlah madhmadhoh.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu majah dengan sanad yang sahih)

Berdasarkan sabda Nabi SAW maksudnya, “Kalau salah seorang di antara kalian berwuduk maka hendaknya dia memasukkan air ke dalam hidungnya kemudian mengeluarkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). 

Beliau menggabungkan antara kumur-kumur dan istinsyaq dengan cara setengah dari air yang baginda ambil, beliau masukkan ke dalam mulut dan setengahnya lagi ke dalam hidung. 

Baginda istinsyaq dengan tangan kanan dan istintsar dengan tangan kiri, berdasarkan hadis Ali bin Abi Thalib. Dan baginda memerintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam istinsyaq kecuali dalam keadaan berpuasa dengan sabdanya, “Bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air ke hidung kecuali kalau kamu dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Daud dari Laqith bin Saburah)

8.Mencuci wajah, dan hukumnya adalah rukun wuduk kerana tersebut dalam surah Al-Maidah. Disunatkan juga ketika mencuci wajah untuk menyelang-nyelingi janggut.

Mencuci wajah merupakan salah satu rukan wuduk, ertinya tidak sah wuduk tanpa mencuci wajah. Allah SWT berfirman yang maksudnya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan solat maka basuhlah mukamu.” (Surah Al-Maidah ayat 6)

Termasuk salah satu kewajiban dalam wuduk adalah menyela-nyela janggut bagi yang memiliki janggut yang lebat berdasarkan hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya apabila Rasulullah SAW berwuduk, baginda mengambil setelapak air kemudian memasukkannya ke bawah dagunya selanjutnya menyela-nyela janggutnya. Kemudian bersabda, “Demikianlah Rabbku memerintahkanku.” (HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi, Al-Hakim dengan sanad sahih lighoirihi).

9).Kemudian mencuci kedua tangan samapai melewati siku dan baginda juga memerintahkan untuk menyelang-nyelingi jari-jemari. Hukum mencuci tangan samapai ke siku adalah rukun wuduk.,

“Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang wuduk?’” Nabi berkata, “Sempurnakan wuduk-mu, dan sela-selalah antara jari-jemarimu, dan bersungguh sungguhlah dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali jika kamu dalam keadaan berpuasa.” (Diriwayatkan oleh lima imam, dishahihkan oleh Tirmidzi)

Para ulama telah bersepakat tentang wajibnya mencuci kedua tangan ketika berwudhu. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan solat maka basuhlah mukamu dan juga tanganmu sampai dengan siku.” (Surah Al-Maidah ayat  6)

Perlu untuk diperhatikan bahwa siku adalah termasuk bagian tangan yang harus disertakan untuk dicuci.

10).Mengusap (menyapu) seluruh kepala (termasuk mengusap kedua daun telinga),

Mengusap kepalanya sekali, dari mulai tempat tumbuh rambut bagian depan sampai akhir tumbuhnya rambut dekat tengkuknya, kemudian mengembalikan usapan itu (membalik) sampai kembali ketempat semula memulai, kemudian memasukkan masing-masing jari telunjuknya ke telinga dan menyapu bagian daun telinga dengan kedua ibujarinya.

Allah SWT berfirman yang maksudnya, “… dan usaplah kepalamu.” (Surah Al-Maidah ayat  6). Yang dimaksud dengan mengusap kepala adalah mengusap seluruh bagian kepala mulai dari depan hingga belakang.

Adapun mengusap kedua telinga hukumnya juga wajib kerana termasuk bagian dari kepala. Nabi SAW bersabda, “Kedua telinga termasuk kepala.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Mengusap kedua telinga ini dilakukan setelah mengusap kepala dengan tanpa mengambil air yang baru.

Hadis Abdullah bin Zaid, dimana beliau juga memperagakan sifat wuduk Nabi.

Dia meminta bekas berisi air lalu menuangkan air ke dua telapak tangannya dan mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya kedalam bekas air lalu berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar sebanyak tiga kali dari tiga kali mengambil air. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci wajahnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci tangan sampai sikunya sebanyak dua kali. Kemudian dia mengambil air lalu mengusap kepalanya -ke belakang dan ke depan- sebanyak satu kali.Kemudian dia mencuci kedua kakinya".

Dalam sebagian riwayat: Baginda memulai mengusap pada bagian depan kepalanya kemudian mendorong kedua tangannya sampai ke tengkuknya, kemudian kedua tangannya kembali ke bagian depan kepalanya.

11).Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki,

Allah SWT berfirman yang maksudnya,” dan (cucilah) kakimu sampai kedua mata kaki.” (Surah Al-Maidah ayat 6)

Mencuci kedua kaki -dan hukumnya adalah rukun- sampai melewati mata kaki. Semua bagian kaki harus terkena air wuduk, kerana Nabi SAW bersabda maksudnya, “Celakalah bagi tumit-tumit (yang tidak terkena air, pent) dari api neraka.”

Perlu untuk diperhatikan bahwa kedua mata kaki adalah termasuk bagian kaki yang harus disertakan untuk dicuci. Adapun menyela-nyela jari-jari kaki hukumnya juga wajib apabila memungkinkan bagian antar jari tidak tercuci kecuali dengan menyela-nyelanya.

12).Tertib (berurutan).

Muwalat adalah berturut-turut dalam membasuh anggota wuduk. Maksudnya adalah sebelum anggota tubuh yang dibasuhnya mengering, ia telah membasuh anggota tubuh yang lainnya.


Disunatkan memulai dengan bagian kanan dalam mencuci semua anggota wuduk yang berjumlah sepasang, kecuali telinga kerana keduanya diusap secara bersamaan. Nabi SAW bersabda maksudnya “Kalau kalian memakai pakaian dan kalau kalian berwuduk, maka mulailah dengan bagian kanan kalian.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang shahih)


Dalil Dan Syarat-syarat Wuduk

Dalil diwajibkannya wudhu sebelum shalat


Dalil diwajibkannya wudhu,Allah berfirman dalam Qur'an Surat Al-Maidah:06

يَۧ ŰŁَيُّهَۧ Ű§Ù„َّŰ°ِينَ ŰąÙ…َنُÙˆŰ§ Ű„ِŰ°َۧ قُمْŰȘُمْ Ű„ِلَى Ű§Ù„Ű”َّÙ„Ű§Ű©ِ فَۧŰșْŰłِلُÙˆŰ§ وُŰŹُوهَكُمْ وَŰŁَيْŰŻِيَكُمْ Ű„ِلَى Ű§Ù„ْمَ۱َŰ§Ùِقِ وَŰ§Ù…ْŰłَŰ­ُÙˆŰ§ Űšِ۱ُŰĄُÙˆŰłِكُمْ وَŰŁَ۱ْŰŹُلَكُمْ Ű„ِلَى Ű§Ù„ْكَŰčْŰšَيْنِ وَŰ„ِنْ كُنْŰȘُمْ ŰŹُنُŰšًۧ فَۧ۷َّهَّ۱ُÙˆŰ§ وَŰ„ِنْ كُنْŰȘُمْ مَ۱ْ۶َى ŰŁَوْ Űčَلَى Űłَفَ۱ٍ ŰŁَوْ ŰŹَۧۥَ ŰŁَŰ­َŰŻٌ مِنْكُمْ مِنَ Ű§Ù„ْŰșَۧۊِŰ·ِ ŰŁَوْ Ù„Ű§Ù…َŰłْŰȘُمُ Ű§Ù„Ù†ِّŰłَۧۥَ فَلَمْ ŰȘَŰŹِŰŻُÙˆŰ§ مَۧۥً فَŰȘَيَمَّمُÙˆŰ§ Ű”َŰčِÙŠŰŻًۧ Ű·َيِّŰšًۧ فَŰ§Ù…ْŰłَŰ­ُÙˆŰ§ ŰšِوُŰŹُوهِكُمْ وَŰŁَيْŰŻِيكُمْ مِنْهُ مَۧ يُ۱ِÙŠŰŻُ Ű§Ù„Ù„َّهُ لِيَŰŹْŰčَلَ Űčَلَيْكُمْ مِنْ Ű­َ۱َŰŹٍ وَلَكِنْ يُ۱ِÙŠŰŻُ لِيُŰ·َهِّ۱َكُمْ وَلِيُŰȘِمَّ نِŰčْمَŰȘَهُ Űčَلَيْكُمْ لَŰčَلَّكُمْ ŰȘَŰŽْكُ۱ُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”


ii.Syarat-syarat sahnya wudhu


Adapaun syarat-syarat syahnya wudhu adalah:

1).Islam,

2).Berakal,

3).Tamyiz,
Yang dimaksud dengan tasmiyah adalah membaca “bismillah”.

Boleh juga apabila ditambah dengan “Ar-Rohmanir Rohim“. Tasmiyah ketika hendak memulai shalat merupakan syarat sah wudhu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah (bertasmiyah, pen). ” 
(HR. Ibnu Majah, hasan)

4).Niat,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

” Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang diniatkannya. ” (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, orang yang dhohirnya (secara kasat mata) berwudhu, akan tetapi niatnya hanya sekedar untuk mendinginkan badan atau menyegarkan badan tanpa diniati untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam berwudhu serta menghilangkan hadats, maka wudhunya tidak sah. Dan yang perlu untuk diperhatikan, bahwa niat di sini letaknya di dalam hati dan tidak perlu dilafazkan.

5).Istishhab hukum niat,

6).Tidak adanya yang mewajibkan wudhu,

7).Istinja dan Istijmar sebelumnya (bila setelah buang hajat),

8).Air yang thahur (suci lagi mensucikan),
Air dikatakan suci atau masih suci manakala tidak tercampur oleh zat/barang yang najis sehingga menjadi berubah salah satu dari tiga sifat, yaitu bau, rasa dan warnanya. Apabila air telah terkena najis, misalnya air kencing atau yang lainnya, kemudian menjadi berubah salah satu dari ketiga sifat di atas maka air tersebut telah menjadi tidak suci lagi berdasarkan ijma’. Apabila air tersebut tercampuri oleh sesuatu yang bukan najis, maka air tersebut masih boleh dipakai untuk berwudhu apabila campurannya hanya sedikit. Namun apabila campurannya cukup banyak sehingga menjadikan air tersebut tidak bisa dikatakan lagi sebagai air, maka air yang telah berubah ini tidak dapat dipakai untuk berwudhu lagi karena sudah tidak bisa dikatakan lagi sebagai air. Misalnya, ada air yang suci sebanyak 1 liter. Air ini kemudian dicampur dengan 5 sendok makan susu bubuk dan diaduk. Maka campuran air ini tidak bisa lagi dipakai untuk berwudhu karena sudah berubah namanya menjadi “susu” dan tidak dikatakan sebagai air lagi.

9).Air yang mubah (bukan hasil curian misalnya),
Apabila air diperoleh dengan cara mencuri, maka tidak sah berwudhu dengan air tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Baik. Dia tidak menerima sesuatu kecuali yang baik.” (HR. Muslim). Sudah dimaklumi, bahwa mencuri merupakan perbuatan yang tidak baik dan keharamannya sudah jelas. Oleh karena itu, air hasil curian (yang merupakan barang yang tidak baik) tidak sah digunakan untuk berwudhu.

10).Menghilangkan sesuatu yang menghalangi air meresap dalam pori-pori.
Tidak sah wudhu seseorang yang memakai kutek atau yang lainnya yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit.

Tuesday, April 8, 2014

Lima Belas Dosa Di Kepala Wanita

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

ŰšِŰłْمِ ٱللَّهِ Ù±Ù„Ű±َّŰ­ْمَـٰنِ Ù±Ù„Ű±َّŰ­ِيم

Segala puji bagi Allah, Tuhan sekelian alam. Selawat serta salam buat junjungan mulia Nabi Muhammad SAW keluarga serta para sahabat dan pengikut yang istiqamah menuruti baginda hingga ke hari kiamat

Sahabat yang dirahmati Allah,

Seorang Mukmin akan berusaha bersungguh-sungguh dalam hidupnya supaya terhindar daripada melakukan maksiat yang boleh mendatangkan dosa kepada Allah s.w.t. .Jika penyakit fizikal disebabkan serangan kuman atau virus tetapi penyakit hati kuman atau virusnya adalah noda dan dosa manusia sendiri.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan maksiat sangat berbahaya bagi hati dan jiwa manusia samaada di dunia dan akhirat. Maka siapa saja yang masih hidup dengan bergelimang maksiat dan dosa hanya akan merusak kehidupannya, dan mencelakakannya di dunia dan akhirat. Perbuatan maksiat akan mempunyai pengaruh buruk dan mengakibatkan seseorang menghadapi  kerosakkan dan kerugiaan.

 
Terdapat 15 dosa yang terdapat dikepala wanita, oleh itu wanita perlulah menjauhi daripada perkara-perkara tersebut.

1. Tidak bertudung (menutup aurat).

Allah berfirman, yang ertinya: "Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:" Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, kerana itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. "(Surah Al-Ahzab ayat 59).

Allah Ta'ala juga berfirman, yang maksudnya: "Katakanlah kepada wanita yang beriman:" Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. "(Surah. An Nuur ayat 24) .

2. Menyambung rambut / memakai sanggul.

Dari Asma 'binti Abi Bakr, ada seorang perempuan yang menghadap Rasulullah Sallallahu' Alaihi Wasallam lalu berkata, "Telah kunikahkan anak gadisku setelah itu dia sakit sehingga semua rambut kepalanya gugur dan suaminya memintaku segera mempertemukannya dengan anak gadisku, apakah aku boleh menyambung rambut kepalanya . Rasulullah lantas melaknat perempuan yang menyambung rambut dan perempuan yang meminta agar rambutnya disambung "(Hadis Riwayat Bukhari no 5591 dan Muslim no 2122).

3. Mewarna / menggilap rambut dengan warna hitam.

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu' anhuma berkata, bahawa Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda, "Pada akhir zaman nanti akan muncul suatu kaum yang menggilap dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka itu tidak akan mencium bau syurga. "(Hadis Riwayat  Abu Daud, An Nasa'i, Ibnu Hibban dalam shahihnya, dan Al Hakim. Al Hakim mengatakan bahawa sanad hadis ini sahih. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahawa hadis ini sahih).

Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Pada hari penaklukan Mekah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan janggutnya telah memutih (seperti kapas, ertinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda, "Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam." (Hadis Riwayat Muslim).

4. Mencabut uban.

Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari datuknya berkata bahawa Rasulullah Sallallahu' Alaihi Wa sallam bersabda, "Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti. "(Hadis Riwayat Abu Daud dan An Nasa'i. Syaikh Al Albani dalam Al Jami 'Ash Shagir mengatakan bahawa hadis ini sahih).

5. Memakai bulu mata palsu.
Fatwa: "... Menurut hemat saya, tidak boleh memasang bulu mata buatan (palsu) pada kedua matanya, kerana hal tersebut sama dengan memasang rambut palsu, dan Nabi Sallallahu 'Alaihi Wasallam melaknat wanita yang memasang dan yang minta dipasangkan rambut palsu. Jika Nabi telah melarang menyambungkan rambut dengan rambut lain (memasang rambut palsu) maka memasang bulu mata pun tidak boleh.

Juga tidak boleh memasang bulu mata palsu kerana alasan bulu mata yang asli tidak lentik atau pendek. Sepatutnya seorang wanita muslimah menerima dengan penuh kerelaan sesuatu yang telah ditakdirkan Allah dan tidak perlu melakukan tipu daya atau memanipulasikan kecantikan, sehingga kelihatan kepada sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti mempunyai pakaian yang tidak patut dipakai oleh seorang wanita muslimah ... "(Disampaikan oleh Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman al-Jibrin. Sumber: Fatwa-Fatwa Terkini jilid 3, hal.80-81 cet, Darul Haq, Jakarta.)

6. Bersolek/berhias.

Allah Azza wa Jalla berfirman, yang ertinya: "Dan janganlah kalian (para wanita) bertabarruj (keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu"(Surah al-Ahzaab ayat 33)

7. Merenggangkan / mengikir gigi.

Dari Ibn Mas'ud radhiyallahu 'anhu, beliau mengatakan, Rasulullah Sallallahu' Alaihi Wa sallam melarang orang mencukur kening, mengkikir gigi, menyambung rambut dan bertatu, kecuali kerana penyakit. (Hadis Riwayat Ahmad 3945 dan sanadnya dinilai kuat oleh Syuaib Al-Arnaut).

Dari ibn Mas'ud radhiyallahu 'anhu, beliau mengatakan, "Semoga Allah melaknat orang yang bertatu, yang minta ditatu, yang mencabut kening, yang minta dikikis kening, yang merenggangkan gigi, untuk memperindah penampilan, yang mengubah ciptaan Allah. (Hadis Riwayat Bukhari 4886).

8. Membuat tatu.

Lihat kenyataan ke-7.

9. Memakai tudung yang tidak memenuhi syarat hijab.

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bahkan telah memperingatkan kita dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

"Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya, iaitu suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor-ekor lembu betina yang mereka pakai untuk mencambuk manusia; wanita-wanita yang berpakaian (tetapi) telanjang, yang kalau berjalan berlenggak-lenggok menggoyang- goyangkan kepalanya lagi derhaka (tidak ta'at), kepalanya seperti punuk-punuk unta yang meliuk-liuk. Mereka tidak akan masuk syurga dan tidak dapat mencium bau wanginya, padahal bau wanginya itu sudah tercium dari jarak sekian dan sekian. "(Hadis Sahih Riwayat Muslim (no. 2128) dan Ahmad (no. 8673).

10. Memakai rambut palsu.
Memakai rambut palsu hukumnya haram, kerana termasuk al-'wasl' iaitu menyambung rambut yang diharamkan. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah). Seandainya tidak dianggap al-'wasl', maka rambut palsu itu menampakkan rambut si wanita lebih panjang daripada yang sebenarnya sehingga menyerupai al-'wasl'. Padahal wanita yang melakukannya dilaknat sebagaimana disebutkan oleh hadis: "Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan minta disambungkan rambutnya." (Hadis Riwayat Bukhari no. 5941, 5926 dan Muslim no. 5530). (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah).

Perbuatan al-'wasl' ini diharamkan, sama saja jika si wanita melakukannya dengan izin suami atau tidak, kerana perbuatan haram tidak berkaitan dengan izin dan redha.

11. Mencukur rambut menyerupai lelaki atau wanita kafir.

Potongan yang menyerupai potongan lelaki maka hukumnya haram dan dosa besar, sebab Nabi Sallallahu 'Alaihi Wa sallam melarang kaum wanita yang menyerupai kaum lelaki. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, dari Ibn Abbas radliallahu 'anhuma, bahawa beliau berkata: "Rasulullah Sallallahu' Alaihi Wa sallam melaknat kaum lelaki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai lelaki." (Hadis Riwayat Bukhari)

Potongan yang menyerupai potongan seperti wanita kafir, maka hukumnya juga haram, kerana tidak boleh menyerupai orang-orang kafir. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibn Umar radliallahu 'anhuma bahwa Nabi Sallallahu' Alaihi Wa sallam bersabda:

"Siapa yang meniru-niru (kebiasaan) suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut" (Hadis Riwayat Abu Daud, dan dishahihkan al-Albani)

12. Mencukur / mencabut bulu kening.
Lihat kenyataan ke-7.

13. Memakai contact lens berwarna untuk berhias.

Syaikh Muhammad shalih Al-Munajjid hafidzahullah berkata: "... kanta kenalan berwana untuk perhiasan (untuk bergaya). Maka hukumnya sama dengan perhiasan, jika digunakan untuk berhias bagi suaminya maka tidak mengapa. Jika digunakan untuk yang lain maka hendaknya tidak menimbulkan fitnah. Dikehendaki juga tidak menimbulkan bahaya (misalnya iritasi dan alergi pada mata, pent) atau menimbulkan unsur penipuan dan kebohongan misalnya menampakkan pada laki-laki yang akan melamar. Dan juga tidak ada unsur mensia-siakan harta (israaf) kerana Allah melarangnya.

14. Pembedahan plastik untuk kecantikan.

Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya, "Bagaimana hukum melaksanakan pembedahan kecantikan dan hukum mempelajari ilmu kecantikan?"

Jawapan beliau, "pembedahan kecantikan (plastik) ini ada dua jenis. Pertama, Pembedahan kecantikan untuk menghilangkan cacat akibat kemalangan atau yang lainnya. Pembedahan seperti ini boleh dilakukan, kerana Nabi Sallallahu 'Alaihi Wa sallam pernah memberikan keizinan kepada seorang lelaki yang terpotong hidungnya dalam peperangan untuk membuat hidung palsu dari emas. Kedua, pembedahan yang dilakukan bukan untuk menghilangkan cacat, namun hanya untuk menambah kecantikan (supaya bertambah cantik). Pembedahan ini hukumnya haram, tidak boleh dilakukan, kerana dalam sebuah hadis (disebutkan), 'Rasulullah melaknat orang yang menyambung rambut, orang yang minta disambung rambutnya, orang yang membuat tatu, dan orang yang minta dibuatkan tatu.' (Hadis Riwayat Bukhari). (Fatawa Al-Mar'ah Al-Muslimah, hlm. 478-479). Sumber: Majalah As-Sunnah, edisi 5, tahun IX, 1426 H/2005 M.

15. Memakai kawat gigi untuk kecantikan / tabarruj.

Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya, "Apa hukumnya memperbaiki gigi?" Syaikh menjawab, "Memperbaiki gigi ini dibahagikan kepada dua kategori:

Pertama, jika tujuannya supaya bertambah cantik atu indah, maka ini hukumnya haram. Nabi Salallahu 'Alaihi Wa sallam melaknat wanita yang menata giginya agar kelihatan lebih indah yang merubah ciptaan Allah. Padahal seorang wanita memerlukan hal yang demikian untuk estetika (keindahan), dengan demikian seorang lelaki lebih layak dilarang daripada wanita.

Kedua, jika seseorang memperbaikinya kerana ada kecacatan, tidak mengapa ia melakukannya. Sesetengah orang ada suatu kecacatan pada giginya, mungkin pada gigi serinya atau gigi yang lain. Cacat tersebut membuat orang merasa jijik untuk melihatnya. Keadaan yang demikian ini dibenarkan. Hal ini dikategorikan sebagai menghilangkan aib atau cacat bukan termasuk menambah kecantikan. Dalilnya, Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan seorang lelaki yang hidungnya terpotong agar menggantikannya dengan hidung palsu dari emas, yang demikian ini termasuk menghilangkan cacat bukan bertujuan untuk mempercantik diri. "Allahu a'lam. (Dijawab oleh Tim Redaksi Konsultasi Syariah).