Tuesday, May 19, 2015

Tanggungjawab Isteri Solehah Kepada Suaminya

Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. 

Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini? 

Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya. 

Allah Ta’ala berfirman:

 ÙَŰ§Ù„Ű”َّŰ§Ù„ِŰ­َۧŰȘُ قَŰ§Ù†ِŰȘَۧŰȘٌ Ű­َŰ§ÙِŰžَۧŰȘٌ لِلْŰșَيْŰšِ Űšِمَۧ Ű­َفِŰžَ Ű§Ù„Ù„Ù‡ُ 

“Maka wanita yang solehah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) d sebabkan Allah telah memelihara mereka…” (Surah An-Nisa’ ayat 34) 

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda dalam hadisnya:

 Ű§Ù„ŰŻُّنْيَۧ مَŰȘَۧŰčٌ وَŰźَيْ۱ُ مَŰȘَۧŰčِهَۧ Ű§Ù„ْمَ۱ْŰŁَŰ©ُ Ű§Ù„Ű”َّŰ§Ù„ِŰ­َŰ©ُ، Ű„ِŰ°َۧ نَŰžَ۱ْŰȘَ Ű„ِلَيْهَۧ Űłَ۱َّŰȘْكَ، وَŰ„ِŰ°َۧ ŰŁَمَ۱ْŰȘَهَۧ ŰŁَŰ·َۧŰčَŰȘْكَ، وَŰ„ِŰ°َۧ ŰșِŰšْŰȘَ Űčَنْهَۧ Ű­َفِŰžَŰȘْكَ فِي نَفْŰłِهَۧ وَمَŰ§Ù„ِكَ 

“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang solehah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan) mu. Bila engkau perintah, ia mentaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu.” 

Dalam Sahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda:

 Ű„ِŰ°َۧ Ű”َلَŰȘِ Ű§Ù„ْمَ۱ْŰŁَŰ©ُ ŰźَمْŰłَهَۧ، وَŰ”َŰ§Ù…َŰȘْ ŰŽَهْ۱َهَۧ، وَŰ­َŰ”َنَŰȘْ فَ۱ْŰŹَهَۧ، وَŰŁَŰ·َۧŰčَŰȘْ ŰšَŰčْلَهَۧ، ŰŻَŰźَلَŰȘْ مِنْ ŰŁَيِّ ŰŁَŰšْوَِۧۚ Ű§Ù„ْŰŹَنَّŰ©ِ ŰŽَۧۥَŰȘْ 

“Apabila seorang wanita mengerjakan solat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (Disahihkan oleh Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa') 

Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah radliyallah 'anha, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

 ŰŁَيُّمَۧ Ű§Ù…ْ۱َŰŁَŰ©ٍ مَۧŰȘَŰȘْ وَŰČَوْŰŹُهَۧ ۱َۧ۶ٍ Űčَنْهَۧ ŰŻَŰźَلَŰȘِ Ű§Ù„ْŰŹَنَّŰ©َ 

“Wanita (isteri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya redha kepadanya nescaya ia akan masuk syurga.” (Hadis Riwayat At-Tirmidzi , Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan.” 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baginda bersabda:

 Ù„َوْ كُنْŰȘُ ŰąÙ…ِ۱ًۧ لِŰŁَŰ­َŰŻٍ ŰŁَنْ يَŰłْŰŹُŰŻَ لِŰŁَŰ­َŰŻٍ لَŰŁَمَ۱ْŰȘُ Ű§Ù„ْمَ۱ْŰŁَŰ©َ ŰŁَنْ ŰȘَŰłْŰŹُŰŻَ لِŰČَوْŰŹِهَۧ 


“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain nescaya aku akan memerintahkan isteri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata, "Hadis ini hasan”). 

“Wanita (isteri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya redha kepadanya nescaya ia akan masuk surga.” (HR. At-Tirmidzi )

Diriwayatkan pula oleh Abu Daud dan lafadznya: “…nescaya aku perintahkan para isteri untuk sujud kepada suami mereka di sebabkan kewajiban-kewajiban sebagai isteri yang Allah bebankan atas mereka.”(Shahih Sunan Abi Dawud) 

Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: "Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka baginda menegur Mu’adz, “Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?” Muadz menjawab:

 ŰŁَŰȘَيْŰȘُ Ű§Ù„ŰŽَّŰ§Ù…َ فَوَŰŹَŰŻْŰȘُهُمْ يَŰłْŰŹُŰŻُوْنَ لِŰŁَŰłَŰ§Ù‚ِفَŰȘِهِمْ وَŰšَŰ·َۧ۱ِقَŰȘِهِمْ، فَوَŰŻِŰŻْŰȘُ فِي نَفْŰłِي ŰŁَنْ ŰȘَفْŰčَلَ Ű°َلِكَ Űšِكَ يَۧ ۱َŰłُوْلَ Ű§Ù„Ù„Ù‡ِ 

“Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.” Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

 Ù„َۧ ŰȘَفْŰčَلُÙˆŰ§ Ű°َلِكَ، فَŰ„ِنِّي لَوْ كُنْŰȘُ ŰąÙ…ِ۱ًۧ ŰŁَŰ­َŰŻًۧ ŰŁَنْ يَŰłْŰŹُŰŻَ لِŰșَيْ۱ِ Ű§Ù„Ù„Ù‡ِ لَŰŁَمَ۱ْŰȘُ Ű§Ù„ْمَ۱ْŰŁَŰ©َ ŰŁَنْ ŰȘَŰłْŰŹُŰŻَ لِŰČَوْŰŹِهَۧ، وَŰ§Ù„َّŰ°ِي نَفْŰłُ مُŰ­َمَّŰŻٍ ŰšِيَŰŻِهِ Ù„Ű§َ ŰȘُŰ€َŰŻِّي Ű§Ù„ْمَ۱ْŰŁَŰ©ُ Ű­َقَّ ۱َŰšِّهَۧ Ű­َŰȘَّى ŰȘُŰ€َŰŻِّيَ Ű­َقَّ ŰČَوْŰŹِهَۧ، وَلَوْ ŰłَŰŁََلَهَۧ نَفْŰłَهَۧ وَهِيَ Űčَلَى قَŰȘَŰšٍ لَمْ ŰȘَمْنَŰčْهُ   

“Jangan engkau lakukan hal itu, kerana sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah nescaya aku perintahkan isteri untuk sujud kepada suaminya. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang isteri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya.” (Shahih Sunan Abi Dawud dan Musnad Ahmad). 

Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

  ŰŁَيُّمَۧ ۱َŰŹُلٍ ŰŻَŰčَۧ ŰČَوْŰŹَŰȘَهُ لِŰ­َۧۏَŰȘِهِ فَلْŰȘَŰŁْŰȘِهِ وَلَوْ كَŰ§Ù†َŰȘْ Űčَلَى Ű§Ù„ŰȘَّنُّوْ۱ِ 

“Suami mana saja yang memanggil isterinya untuk memenuhi hajatnya (jima') maka si isteri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi) 

Jika suami memanggil isterinya untuk berjima' maka si isteri wajib memenuhi panggilannya walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api. 

Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: 

Ű„ِŰ°َۧ ŰŻَŰčَۧ Ű§Ù„Ű±َّŰŹُلُ Ű§Ù…ْ۱َŰŁَŰȘَهُ Ű„ِلَى فِ۱َۧێِهِ فَŰŁَŰšَŰȘْ ŰŁَنْ ŰȘَŰŹِيْŰŠَ، فَŰšَۧŰȘَ Űșَ۶ْŰšَŰ§Ù†َ Űčَلَيْهَۧ، لَŰčَنَŰȘْهَۧ Ű§Ù„ْمَÙ„Ű§َŰŠِكَŰ©ُ Ű­َŰȘَّى ŰȘُŰ”ْŰšِŰ­َ 

“Apabila seorang suami memanggil isterinya ke tempat tidurnya, namun si isteri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada isterinya tersebut, nescaya para malaikat melaknat si isteri sampai ia berada di pagi hari.” Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi isterinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” 

Lalu ia membaca firman Allah Ta'ala:

وَŰŁَلْفَيَۧ ŰłَيِّŰŻَهَۧ لَŰŻَى Ű§Ù„ْŰšَِۧۚ 

“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Surah Yusuf ayat 25). 

Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.” 

Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, baginda bersabda: 

 Ű§ŰłْŰȘَوْŰ”ُÙˆŰ§ ŰšِŰ§Ù„Ù†ِّŰłَۧۥِ Űźَيْ۱ًۧ، فَŰ„ِنَّمَۧ هُنَّ ŰčِنْŰŻَكُمْ ŰčَوَŰ§Ù†ٌ  

“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/isteri kerana mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibnu Majah). 

Dengan demikian seorang isteri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya, walau ayahnya atau ibunya memerintahkannya, menurut kesepakatan para imam. 

Apabila seorang suami ingin membawa isterinya pindah ke tempat lain, ia tetap menunaikan hak isterinya dan menjaga hukum Allah atas isterinya, sementara mertuanya melarang anak perempuannya tersebut untuk menuruti suami pindah ke tempat lain, maka si isteri wajib menaati suaminya. Bukannya menuruti kedua orangtuanya. 

Orang tua seperti ini telah berlaku zalim, kerana telah melarang si wanita untuk menaati suaminya. Bila ibunya menyuruh minta khulu' (minta dicerai) kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya, ia tidak boleh mentaatinya. Seorang wanita tidak boleh mentaati salah satu dari kedua orang tuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Ta’ala. 

Diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda: “Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa maka haram baginya mencium wanginya syurga.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi). 

Dalam hadis yang lain 

Ű§Ù„ْمُŰźْŰȘَلِŰčَۧŰȘُ وَŰ§Ù„ْمُنْŰȘَŰČِŰčَۧŰȘُ هُنَّ Ű§Ù„ْمُنَŰ§ÙِقَۧŰȘُ 

“Isteri-isteri yang minta khulu’(tanpa alasan yang membenarkannya) dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi). 

“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa maka haram baginya mencium wanginya syurga.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi )

Namun, jika kedua orang tuanya memerintahkannya kepada kebaikan dan melaranganya dari kemungkaran, ia wajib mentaatinya. Bahkan jika yang memerintahkan itu orang lain yang datangnya dari orang tua. Apabila suami melarangnya dari melaksanakan perintah Allah dan menyuruhnya mengerjakan larangan Allah, ia tak boleh mentaatinya. Kerana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.” (HR. Imam Ahmad, isnadnya shahih menurut Syaikh Ahmad Syakir) 

Bahkan seorang tuan andai memerintahkan perbuatan maksiat kepada budaknya, tidak boleh menaati tuannya dalam perkara maksiat itu. Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah dan Rasul-Nya, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” Wallahu a’lam bish-shawab!!. 

No comments: