Friday, July 3, 2015

Kelebihan Puasa Di Bulan Ramadan Melahirkan Takwa

Tafsir Surat Al Baqarah 183: “Berpuasa Hasilnya Adalah  Takwa”

Bulan Ramadan adalah bulan Al Quran. Semestinya di bulan Al Quran ini umat Islam hendaklah lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Ya, perenungan isi Al Quran hendaknya mendapat menfaat yang besar dari aktiviti umat Islam di bulan yang mulia ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan peranan Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadan adalah bulan bulan diturunkannya Al Quran. Al Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (Surah Al Baqarah ayat 185)

Usaha yang mulia ini boleh dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (Surah Al Baqarah ayat 183)

Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita perhatikan hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا

“Wahai orang-orang yang beriman”

Dari lafaz ini diketahui bahawa ayat ini turun di Madinah (atau ayat Madaniyyah), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah [Lihat Al Itqan Fi Ulumil Qur’an karya Imam As Suyuthi, 55]

Imam Ath Thabari menyatakan bahawa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/409]

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”[Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497]

Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.

Lalu, apakah iman itu?

Iman secara bahasa ertinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:

وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ

“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (Surah Yusuf ayat 17)

Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadis:

الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره

“Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha' dan qadar, yang baik maupun yang buruk”[HR. Muslim no.102, 108]

Demikianlah enam Rukun Iman yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. 

Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau perintahkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. 

Imam Asy Syafi’i menjelaskan:

وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر

“Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini”[Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, 4/149]

Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan solat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak bertudung tutup aurat, yang penting hati saya berbersih dan ikhlas”. Jika imannya benar, tentu hati menjadi bersih dan ikhlas akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai tudung dan baju yang menutup aurat dengan sempurna. Oleh kerana itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan hasil daripada iman.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

“Telah diwajibkan atas kamu berpuasa ”

Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya”[Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, 2/272]

Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Surah Al Baqarah ayat 184)

Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang bukan musafir dan sihat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

‘Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadan) itu, wajib baginya puasa‘ (Surah Al Baqarah ayat 185)”[Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/500]

Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai keadaan aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi -hafizhahullah- menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Kerana awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap dianjurkan”[Shifatu Shaumin Nabi Fii Ramadhan, 1/21]

Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahawa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”

Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.

Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Kerana suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.

Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”[Ruuhul Ma’ani Fii Tafsiir Al Qu’ran Al Azhim, 2/121]

Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahawa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan” [Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497]

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Agar kalian bertaqwa”

Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita ertikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat takwa. Dengan makna tarajji, dapat kita ertikan bahawa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertakwa.

Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”[Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/413]

Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertakwa kerana sebab puasa. Kerana puasa adalah wasilah menuju takwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima”  [Ma’alim At Tanziil, 1/196]

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat” [Tafsir Al Jalalain, 1/189]

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah takwa itu?

Secara bahasa arab, takwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang ertinya berhati-hati, waspada, takut. Bertakwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi takwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:

العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ

“Takwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah”[Siyar A’lamin Nubala, 8/175]

Demikianlah sifat orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan kerana ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau adat istiadat. Demikian juga orang bertakwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, kerana ia teringat dalil yang mengancam dengan azab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahawa ketakwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisi-Nya:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (Surah Al Hujurat ayat 13)

Setelah mengetahui makna takwa, periksalah penjelasan indah berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketakwaan belaiu berkata: 

“Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketakwaan. Kerana orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketakwaan:

Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah SWT berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk takwa’

Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya kerana sadar bahawa Allah mengawasinya.

Puasa itu mempersempit gerak syaitan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh syaitan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangkan. Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah SWT, dan ini merupakan tabiat orang yang bertakwa

Dengan puasa, orang kaya merasakan susahnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih peduli kepada orang-orang miskin yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertakwa”[Taisir Kariimir Rahman, 1/86]

Semoga puasa kita dapat menjadi saksi dihadapan Allah SWT tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat takwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala. Wallahu a'lam


(Tulisan ini di petik daripada tulisan Yulian Purnama)

No comments: