Pada saat Rasululllah s.a.w. menyerukan dakwah menuju tauhid, tanpa keraguan lagi Ummu Sulaim langsung memeluk agama Islam, dan tidak peduli akan gangguan dan rintangan yang kelak akan dihadapinya dari masyarakat jahiliah.
Namun suaminya, Malik bin Nadhir sangat marah saat mengetahui isterinya telah masuk Islam. Dengan dada gemuruh kerana emosi, ia berkata pada Ummu Sulaim: "Engkau kini telah terperangkap dalam kemurtadan!"
"Saya tidak murtad. Justru saya kini telah beriman," jawab Ummu Sulaim dengan mantap. Dan kesungguhan Ummu Sulaim memeluk agama Allah tidak hanya sampai di situ. Ia juga tanpa bosan berusaha melatih anaknya, Anas, yang masih kecil untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.
Melihat kesungguhan isterinya serta pendiriannya yang tak mungkin tergugat membuat Malik bin Nadhir bosan dan tak mampu mengendalikan amarahnya. Hingga ia kemudian bertekad untuk meninggalkan rumah dan tidak akan kembali sampai isterinya mau kembali kepada agama nenek moyang mereka. Ia pun pergi dengan wajah suram. Sayangnya, di tengah jalan ia bertemu dengan musuhnya, kemudian ia dibunuh..
Saat mendengar kabar kematian suaminya dengan ketabahan yang mengagumkan ia berkata, "Saya akan tetap menyusui Anas sampai ia tak mau menyusu lagi, dan sekali-kali saya tak ingin menikah lagi sampai Anas menyuruhku."
Setelah Anas agak besar, Ummu Sulaim dengan malu-malu mendatangi Rasulullah s.a.w. dan meminta agar beliau bersedia menerima Anas sebagai pembantunya. Rasulullah s.a.w. pun menerima Anas dengan rasa gembira. Dan dari semua keputusannya itu, Ummu Sualim kemudian banyak dibicarakan orang dengan rasa kagum.
Dan seorang bangsawan bernama Abu Thalhah tak luput memperhatikan hal itu. Dengan rasa cinta dan kagum yang tak dapat disembunyikan tanpa banyak pertimbangan ia langsung melangkahkan kakinya ke rumah Ummu Sulaim untuk melamarnya dan menawarkan mahar yang mahal. Namun di luar dugaan, jawaban Ummu Sulaim membuat lidahnya menjadi kelu dan rasa kecewanya begitu menyesakkan dada, meski Ummu Sulaim berkata dengan sopan dan rasa hormat,
"Tidak selayaknya saya menikah dengan seorang musyrik, ketahuilah wahai Abu Thalhah bahawa sesembahanmu selama ini hanyalah sebuah patung yang dipahat oleh keluarga fulan. Dan apabila engkau mau menyulutnya api nescaya akan membakar dan menghanguskan patung-patung itu."
Perkataan Ummu Sulaim amat telak menghantam dadanya. Abu Thalhah tak percaya dengan apa yang ia lihat dan ia dengar. Namun itu semua merupakan realita yang harus ia terima. Abu Thalhah bukanlah orang yang cepat putus asa. Disebabkan cintanya yang tulus dan mendalam terhadap Ummu Sulaim, di lain kesempatan ia datang lagi menjumpai ibunda Anas dan menawarkan mahar yang lebih mahal serta kehidupan kelas atas.
Sekali lagi, Ummu Sulaim Muslimah yag cerdik dan pintar ini tetap teguh dengan keimanannya. Sedikit pun ia tidak tergoda oleh kenikmatan dunia yag dijanjikan oleh Abu Thalhah. Baginya kenikmatan Islam akan lebih berbahagia daripada seluruh kenikmatan dunia. Masih dengan penolakanya yang halus ia menjawab, "Sesungguhnya saya tidak patut menolak orang yang seperti engkau, wahai Abu Thalhah. Hanya sayang engkau seorang kafir dan saya seorang Muslimah. Maka tak pantas bagiku menikah denganmu. Coba Anda penuhi apa keinginan saya?"
"Engkau menginginkan dinar dan kenikmatan," kata Abu Thalhah. "Sedikitpun saya tidak menginginkan dinar dan kenikmatan. Yang saya inginkan hanya engkau segera memeluk agama Islam," tegas Ummu Sualim.
"Tetapi saya tidak mengerti siapa yang akan menjadi pembimbingku?" Tanya Abu Thalhah. "Tentu saja pembimbingmu adalah Rasululah sendiri," tegas Ummu Sulaim.
Maka Abu Thalhah pun bergegas pergi menjumpai Rasulullah s.a.w. yang mana saat itu tengah duduk bersama para sahabatnya. Melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah s.a.w. berseru, "Abu Thalhah telah datang kepada kalian, dan cahaya Islam tampak pada kedua bola matanya."
Ketulusan hati Ummu Sulaim benar-benar terasa mengharukan dan menambat hati Abu Thalhah. Ummu Sulaim hanya akan mau dinikahi dengan keislamannya tanpa sedikitpun teringin oleh kenikmatan yang dia janjikan. Wanita mana lagi yang lebih patut menjadi isteri dan ibu asuh anak-anaknya selain Ummu Sulaim? Hingga tanpa terasa di hadapan Rasulullah s.a.w. lisan Abu Thalhah basah mengulang-ulang kalimat, "Saya mengikuti ajaran tuan, wahai Rasulullah. Saya bersaksi, bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusanNya."
Ummu Sulaim tersenyum haru dan berpaling kepada anaknya Anas, "Bangunlah wahai Anas."
Ummu Sulaim telah bernikah dengan Abu Thalhah, sedangkan maharnya adalah keIslaman suaminya. Hingga Tsabit –seorang perawi hadis- meriwayatkan dari Anas, "Sama sekali aku belum pernah mendengar seorang wanita yang maharnya lebih mulia dari Ummu Sulaim, yaitu keIslaman suaminya." Selanjutnya mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang damai dan sejahtera dalam naungan cahaya Islam.
Abu Thalhah sendiri adalah seorang ahli perniagaan nomor satu dari kabilah Anshar. Dan harta yang paling dia cintai yaitu tanah perkebunan "Bairuha". Tanah perkebunan itu letaknya menghadap masjid. Dan Rasulullah s.a.w. sendiri pernah minum air segar yang ada di lokasi itu, sampai kemudian turun ayat yang berbunyi:
"Sekali-kali belum sampai pada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai." (Surah Ali Imran ayat 92)
Mendengar ayat ini, bergegas Abu Thalhah menghadap Rasulullah s.a.w.. Setelah membacakan ayat tadi Abu Thalhah melanjutkan, "Dan sesungguhnya harta yang paling saya cintai adalah tanah perkebunan Bairuha. Saat ini tanah itu saya sedekahkan untuk Allah dengan harapan akan mendapatkan ganjaran kebaikan dari Allah kelak. Maka pergunakanlah sekehendak tuan, wahai Rasulullah."
Dan bersabdalah Rasulullah s.a.w. : "Bakh, bakh itu adalah harta yang menguntungkan dan saya telah mendengar perkataanmu tentang harta itu dan saya sekarang berpendapat sebaiknya engkau bagi-bagikan tanah itu untuk keluarga kalian."
Abu Thalhah pun menuruti perintah Rasululah dan membagi-bagikan tanah itu kepada sanak saudaranya dan anak keturunan bapa saudaranya. Tak berapa lama Allah memuliakan seorang anak laki-laki kepada pasangan berbahagia itu dan diberi nama Abu Umair.
Suatu kali burung kesayangan Abu Umair mati sehingga Abu Umair menangis dengan sedih. Ketika itu Rasulullah s.a.w lalu di hadapannya. Melihat kesedihan Abu Umair, Rasulullah segera menghibur dan bertanya, "Wahai Abu Umair apa gerangan yang diperbuat oleh burung kecil?"
Namun takdir Allah memang tak mampu diduga. Allah subhanahu wa ta’ala kembali ingin menguji kesabaran pasangan sabar ini. Tiba-tiba saja, anak kecil mereka Abu Umair jatuh sakit sehingga ayah dan ibunya menjadi cemas. Padahal ia adalah putera kesayangan Abu Thalhah. Jika ia pulang dari pasar, yang pertama kali ditanyakan adalah kesehatan dan keadaan puteranya dan ia belum mereasa tenang bila belum melihatnya. Tepat pada waktu solat, Abu Thalhah pergi ke masjid. Tak lama setelah kepergiannya, puteranya Abu Umair menghembuskan nafas terakhir.
Ummu Sulaim memang seorang ibu Mukminah yang sabar. Ia menerima peristiwa itu dengan sabar dan tenang. Ummu Sulaim lantas menidurkan puteranya di atas katil dan berkata berulang-ulang, "Innaa lillahi wa inna ilaihi rrji’un." Dengan suara berbisik ia berkata kepada sanak keluarganya, "Jangan sekali-kali kalian memberitahukan perihal puteranya pada Abu Thalhah sampai aku sendiri yang memberitahunya."
Sekembalinya Abu Thalhah, alhamdulillah, air mata kesayangan Ummu Sulaim telah kering. Ia menyambut kedatangan suaminya dan siap menjawab pertanyaannya.
"Bagaimana keadaan puteraku sekarang?"
"Dia lebih tenang dari biasanya." Jawab Ummu Sulaim dengan wajar.
Abu Thalhah merasa begitu letih hingga tak ada keinginan menengok puteranya. Namun hatinya turut berbunga-bunga mengira puteranya dalam keadaan sehat wal afiat. Ummu Sulaim pun menjamu suaminya dengan hidangan yang istimewa dan berdandan serta berhias dengan wangi-wangian, membuat Abu Thalhah tertarik dan mengajaknya tidur bersama.
Setelah suaminya terlelap, Ummu Sulaim memuji kepada Allah kerana berhasil menenteramkan suaminya perihal puteranya, kerana ia menyadari Abu Thalhah telah mengalami keletihan seharian, sehingga ia membiarkan suaminya tidur dengan puas.
Menjelang subuh, baru Ummu Sulaim berbicara pada suaminya, seraya bertanya, "Wahai Abu Thalhah apa pendapatmu bila ada sekelompok orang meminjamkan barang kepada tetangganya lantas ia meminta kembali haknya. Pantaskan jika si peminjam enggan mengembalikannya?"
"Tidak," jawab Abu Thalhah.
"Bagaimana jika si peminjam enggan mengembalikannya setelah menggunakannya?" "Wah, mereka benar-benar tidak waras," Abu Thalhah membalas.
"Demikian pula puteramu. Allah meminjamkannya pada kita dan pemiliknya telah mengambilnya kembali. Relakanlah ia," kata Ummu Sulaim dengan tenang. Pada mulanya Abu Thalhah marah dan membentak, "Kenapa baru sekarang kau beritahu, dan membiarkan aku hingga aku ternoda (dengan melakukan persetubuhan)?"
Dengan rasa tabah Ummu Sulaim tak henti-henti mengingatkan suaminya hingga ia kembali dengan memuji Allah dengan hati yang tenang.
Pagi-pagi buta sebelum cahaya matahari kelihatan penuh, Abu Thalhah menjumpai Rasulullah s.a.w. dan menceritakan kejadian itu. Rasulullah s.a.w. pun bersabda, "Semoga Allah s.w.t. memberikan barakah pada malam pengantin kalian berdua."
Benar saja Ummu Sulaim lantas mengandung lagi dan melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Thalhah oleh Rasulullah s.a.w. Dan subhanallah barakahnya ternyata tak hanya sampai di situ. Abdullah kelak di kemudian hari memiliki tujuh orang putera yang semuanya hafizhul Qur’an. Keutamaan Ummu Sulaim tidak hanya itu, Allah s.w.t. juga pernah menurunkan ayat untuk pasangan suami isteri itu disebabkan suatu peristiwa.
Sehingga Rasulullah s.a.w. menggembirakannya dengan janji Syurga dalam sabdanya
"Aku memasuki Syurga dan aku mendengar jalannya seseorang. Lantas aku bertanya "Siapakah ini?" Penghuni Syurga spontan menjawab "Ini adalah Rumaisha binti Milhan, ibu Anas bin Malik."
Selamat untukmu Ibunda Anas!
No comments:
Post a Comment