Hadis-hadis Sahih Menjelaskan Ketaatan Isteri Kepada Suaminya :
Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ÙَÙْ ÙُÙْŰȘُ ŰąÙ
ِ۱ًۧ ŰŁَŰَŰŻًۧ ŰŁَÙْ ÙَŰłْŰŹُŰŻَ ÙŰŁَŰَŰŻٍ ÙŰŁَÙ
َ۱ْŰȘُ ۧÙÙِّŰłَۧۥَ ŰŁَÙْ ÙَŰłْŰŹُŰŻْÙَ ÙŰŁَŰČْÙَۧۏِÙِÙَّ ÙِÙ
َۧ ŰŹَŰčَÙَ ۧÙÙَّÙُ ÙَÙُÙ
ْ ŰčَÙَÙْÙِÙَّ Ù
ِÙَ ۧÙْŰَÙِّ
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ű„ِŰ°َۧ Ű”َÙَّŰȘِ ۧÙْÙ
َ۱ْŰŁَŰ©ُ ŰźَÙ
ْŰłَÙَۧ ÙَŰ”َۧÙ
َŰȘْ ŰŽَÙْ۱َÙَۧ ÙَŰَÙِŰžَŰȘْ Ùَ۱ْŰŹَÙَۧ ÙَŰŁَŰ·َۧŰčَŰȘْ ŰČَÙْŰŹَÙَۧ ÙِÙÙَ ÙَÙَۧ ۧۯْŰźُÙِÙ Ű§ÙْŰŹَÙَّŰ©َ Ù
ِÙْ ŰŁَÙِّ ŰŁَŰšْÙَِۧۚ ۧÙْŰŹَÙَّŰ©ِ ŰŽِŰŠْŰȘِ
Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
ÙÙÙŰł ŰčÙÙ Ű§ÙÙ
۱ۣ۩ ŰšŰčŰŻ ŰÙ Ű§ÙÙÙ Ù۱۳ÙÙÙ ŰŁÙŰŹŰš Ù
Ù ŰÙ Ű§ÙŰČÙŰŹ
“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.
Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:
Pertama: Mentaati perintah suami
Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
ÙِÙÙَ Ùِ۱َŰłُÙÙِ ۧÙÙَّÙِ Ű”َÙَّÙ Ű§ÙÙَّÙُ ŰčَÙَÙْÙِ ÙَŰłَÙَّÙ
َ ŰŁَÙُّ ۧÙÙِّŰłَۧۥِ ŰźَÙْ۱ٌ ÙَۧÙَ ۧÙَّŰȘِÙ ŰȘَŰłُ۱ُّÙُ Ű„ِŰ°َۧ ÙَŰžَ۱َ ÙَŰȘُŰ·ِÙŰčُÙُ Ű„ِŰ°َۧ ŰŁَÙ
َ۱َ ÙَÙَۧ ŰȘُŰźَۧÙِÙُÙُ ÙِÙ ÙَÙْŰłِÙَۧ ÙَÙ
َۧÙِÙَۧ ŰšِÙ
َۧ ÙَÙْ۱َÙُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
ŰŁَŰ°َۧŰȘُ ŰČَÙْŰŹٍ ŰŁَÙْŰȘِ؟ ÙَۧÙَŰȘْ: ÙَŰčَÙ
ْ. ÙَۧÙَ: ÙَÙْÙَ ŰŁَÙْŰȘِ ÙَÙُ؟ ÙَۧÙَŰȘْ: Ù
َۧ ŰąÙُÙْÙُ Ű„ِÙَّۧ Ù
َۧ ŰčَŰŹَŰČْŰȘُ ŰčَÙْÙُ. ÙَۧÙَ: ÙَۧÙْŰžُ۱ِÙْ ŰŁÙÙَ ŰŁَÙْŰȘِ Ù
ِÙْÙُ، ÙَŰ„ÙَّÙ
َۧ ÙُÙَ ŰŹَÙَّŰȘُÙِ ÙَÙَۧ۱ُÙِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)
Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ùَۧ Ű·َۧŰčَŰ©َ ÙِÙ Ù
َŰčْŰ”ِÙَŰ©ٍ ، Ű„ِÙَّÙ
َۧ ۧÙŰ·َّۧŰčَŰ©ُ ÙِÙ Ű§ÙْÙ
َŰčْ۱ُÙÙِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,
Ùَۧ Ű·َۧŰčَŰ©َ ÙِÙ
َŰźْÙُÙْÙٍ ÙِÙ Ù
َŰčْŰ”ِÙَŰ©ِ ۧÙÙÙِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami
Allah Ta’ala berfirman,
ÙَÙَ۱ْÙَ ÙِÙ ŰšُÙُÙŰȘِÙُÙَّ ÙَÙَۧ ŰȘَŰšَ۱َّŰŹْÙَ ŰȘَŰšَ۱ُّŰŹَ ۧÙْŰŹَۧÙِÙِÙَّŰ©ِ ۧÙْŰŁُÙÙَÙ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ű„ِŰ°َۧ ŰŻَŰčَۧ ۧÙ۱َّŰŹُÙُ ۧÙ
ْ۱َŰŁَŰȘَÙُ Ű„ِÙَÙ Ùِ۱َۧێِÙِ ÙَŰŁَŰšَŰȘْ ŰŁَÙْ ŰȘَŰŹِÙŰĄَ ÙَŰčَÙَŰȘْÙَۧ ۧÙْÙ
َÙَۧŰŠِÙَŰ©ُ ŰَŰȘَّÙ ŰȘُŰ”ْŰšِŰَ
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,
ÙَۧÙَّŰ°ِÙ ÙَÙْŰłِÙ ŰšِÙَŰŻِÙِ Ù
َۧ Ù
ِÙْ ۱َŰŹُÙٍ ÙَŰŻْŰčُÙ Ű§Ù
ْ۱َŰŁَŰȘَÙُ Ű„ِÙَÙ Ùِ۱َۧێِÙَۧ ÙَŰȘَŰŁْŰšَÙ ŰčَÙَÙْÙِ Ű„ِÙَّۧ ÙَۧÙَ ۧÙَّŰ°ِÙ ÙِÙ Ű§ÙŰłَّÙ
َۧۥِ Űłَِۧ۟Ű·ًۧ ŰčَÙَÙْÙَۧ ŰَŰȘَّÙ Ùَ۱ْ۶َÙ ŰčَÙْÙَۧ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.
Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,
ÙَۧŰȘَّÙُÙۧ ۧÙÙَّÙَ ÙِÙ Ű§ÙÙِّŰłَۧۥِ ÙَŰ„ِÙَّÙُÙ
ْ ŰŁَŰźَŰ°ْŰȘُÙ
ُÙÙُÙَّ ŰšِŰŁَÙ
َۧÙِ ۧÙÙَّÙِ Ùَۧ۳ْŰȘَŰْÙَÙْŰȘُÙ
ْ Ùُ۱ُÙŰŹَÙُÙَّ ŰšِÙَÙِÙ
َŰ©ِ ۧÙÙَّÙِ ÙَÙَÙُÙ
ْ ŰčَÙَÙْÙِÙَّ ŰŁَÙْ Ùَۧ ÙُÙŰ·ِŰŠْÙَ Ùُ۱ُŰŽَÙُÙ
ْ ŰŁَŰَŰŻًۧ ŰȘَÙْ۱َÙُÙÙَÙُ
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ùَۧ ÙَŰِÙُّ ÙِÙْÙ
َ۱ْŰŁَŰ©ِ ŰŁَÙْ ŰȘَŰ”ُÙÙ
َ ÙَŰČَÙْŰŹُÙَۧ ŰŽَۧÙِŰŻٌ Ű„ِÙَّۧ ŰšِŰ„ِŰ°ْÙِÙِ، ÙَÙَۧ ŰȘَŰŁْŰ°َÙَ ÙِÙ ŰšَÙْŰȘِÙِ Ű„ِÙَّۧ ŰšِŰ„ِŰ°ْÙِÙِ ، ÙَÙ
َۧ ŰŁَÙْÙَÙَŰȘْ Ù
ِÙْ ÙَÙَÙَŰ©ٍ ŰčَÙْ ŰșَÙْ۱ِ ŰŁَÙ
ْ۱ِÙِ ÙَŰ„ِÙَّÙُ ÙُŰ€َŰŻَّÙ Ű„ِÙَÙْÙِ ŰŽَŰ·ْ۱ُÙ
“Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,
Ùَۧ ŰȘَŰŁْŰ°َÙُ ۧÙÙ
َ۱ْŰŁَŰ©ُ ÙِÙ ŰšَÙْŰȘِ ŰČَÙْŰŹِÙَۧ ÙَÙُÙَ ŰŽَۧÙِŰŻُ Ű„ِÙَّۧ ŰšِŰ„ِŰ°ْÙِÙِ
“Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)
Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami
Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ùَۧ ÙَŰِÙُّ ÙِÙْÙ
َ۱ْŰŁَŰ©ِ ŰŁَÙْ ŰȘَŰ”ُÙÙ
َ ÙَŰČَÙْŰŹُÙَۧ ŰŽَۧÙِŰŻٌ Ű„ِÙَّۧ ŰšِŰ„ِŰ°ْÙِÙِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
Ùَۧ ŰȘَŰ”ُÙÙ
ُ ۧÙْÙ
َ۱ْŰŁَŰ©ُ ÙَŰšَŰčْÙُÙَۧ ŰŽَۧÙِŰŻٌ Ű„ِÙَّۧ ŰšِŰ„ِŰ°ْÙِÙِ ŰșَÙْ۱َ ۱َÙ
َ۶َۧÙَ
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”)
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. … Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas fuqoha. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis[1]), (2) puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya. [Ini berarti kalau puasanya adalah puasa Syawal, maka boleh tanpa izin suami karena puasa Syawal adalah puasa yang memiliki batasan waktu tertentu hanya di bulan Syawal.]
Jika Suami Tidak di Tempat
Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul Bari, 9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99) Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di tempat.
Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Keseruan dan Keuntungan Berlimpah dari Bermain Slot Gacor Online
-
Keseruan dan Keuntungan Berlimpah dari Bermain Slot Gacor Online – Di era
dimana teknologi memudahkan segala aspek kehidupan, bermain judi slot kini
tak ...
1 year ago
No comments:
Post a Comment